Menyikapi perkara embargo dari AS ini, Pengamat Energi dari Energy Watch Mamit Setiawan menilai pemerintah perlu melakukan langkah diplomasi lebih lanjut ke AS dengan harapan sanksi tersebut bisa dihindarkan.
"Mudah-mudahan saja diplomasi yang dilakukan oleh Kemenlu dan kementerian terkait lain bisa berhasil sehingga semua akan baik-baik saja dan kita bisa bebas dari sanksi negara-negara tersebut," kata Mamit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila pemerintah bisa meyakinkan pemerintah AS dan sekutunya, Mamit mengatakan, impor minyak Rusia bisa saja aman dilakukan. Dengan demikian, potensi penurunan harga BBM berkemungkinan terjadi.
"Jadi potensi penurunan harga bisa terjadi jika benar harganya lebih murah dari harga pasar dan kita bisa mengimpor dalam jumlah yang besar. Jika perlu semua kebutuhan (minyak) kita impor dari Rusia asalkan tadi kilang kita bisa mengolah minyak dari sana," ungkapnya.
Mamit menjelaskan, Indonesia merupakan nett importir minyak di mana kebutuhan RI mencapai 1,6 juta BOPD, sedangkan produksinya hanya 620.000 BOPD. Dengan demikian, nilai impor RI masih sangat besar. Penurunan harga BBM ini berpotensi terjadi apabila impor dilakukan dalam skala besar.
"Kalau impornya sedikit sedangkan yang lain harga keekonomian maka sama saja, tidak signifikan (penurunan beban subsidi minyak). Tapi untuk BBM umum Badan Usaha wajib menyesuaikan ya. Menggunakan formula dalam KepMen ESDM 62/2020 maka mereka harus mengikuti formula tersebut dan menyesuaikan harganya," katanya.
Di sisi lain, untuk harga BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar sendiri, menurut Mamit, akan sulit untuk melakukan penyesuaian harga nantinya lantaran beban kompensasi negara yang begitu besar.
"Kalau BBM JBT dan JBKP saya kira ini yang sulit karena sejauh ini masih besar nilai kompensasi yang harus dibayarkan negara. Kecuali Presiden yang meminta," tandasnya.
(dna/dna)