Shell melaporkan laba kuartalan tertinggi kedua setelah mencatat pendapatan lebih dari dua kali lipat antara Juli dan September.
Raksasa energi itu mengatakan laba yang mendasarinya mencapai US$ 9,5 miliar atau sekitar Rp 147,25 triliun (kurs Rp 15.500) pada kuartal ketiga. Jumlah itu jauh lebih besar dengan US$ 4,2 miliar atau sekitar Rp 65,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Dilansir dari BBC, Kamis (27/10/2022), kenaikan tersebut mendorong seruan agar pajak atas keuntungan perusahaan energi dinaikkan untuk membantu orang-orang dengan tagihan yang besar di Inggris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perusahaan energi besar telah melaporkan keuntungan besar sebagai akibatnya pada saat banyak pemerintah harus turun tangan untuk mendukung konsumen dengan tagihan.
Antara April dan Juni saja, laba Shell mencapai rekor US$ 11,5 miliar atau Rp 178 triliun meskipun pertumbuhan telah melambat sejak harga minyak turun kembali dari tertinggi baru-baru ini.
Sebelumnya, ketika Rishi Sunak, Perdana Menteri Inggris saat ini saat menjadi Menteri Keuangan sempat memperkenalkan pajak rezeki nomplok, yang digambarkan sebagai Retribusi Keuntungan Energi 25% atas laba luar biasa perusahaan.
Ed Miliband dari Partai Buruh mengatakan keuntungan Shell adalah bukti lebih lanjut Inggris membutuhkan pajak yang lebih tinggi atas 'rezeki nomplok' untuk memastikan perusahaan energi membayar bagian mereka secara adil.
"Pungutan saat ini cacat dan akan melihat miliaran pound uang pembayar pajak kembali ke kantong raksasa minyak dan gas melalui keringanan pajak yang menggelikan," ungkap Miliband.