Ekpor CPO Sempat Dilarang, Pungutan Sawit Anjlok di 2022

ADVERTISEMENT

Ekpor CPO Sempat Dilarang, Pungutan Sawit Anjlok di 2022

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Kamis, 22 Des 2022 16:05 WIB
harga kelapa sawit  di mesuji mulai naik Rp.1300/kg di awal tahun 2016 dari tahun sebelumnya Rp1100/kg. (2-9-2016) Mesuji,sumatera selatan.
Kenaikan harga ini terjadi karena produksi CPO menurun.Selain akibat cuaca, tahun ini kebun kelapa sawit banyak memasuki umur replanting
Foto: Febri Angga Palguna
Jakarta -

Dana pungutan sawit anjlok di tahun 2022. Kebijakan pembatasan ekspor yang sempat dilakukan pemerintah di awal tahun ini menjadi biang keroknya.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menyatakan jumlah pungutan ekspor tahun ini kira-kira cuma mencapai Rp 34,9 triliun. Jumlah itu turun hampir setengahnya dari capaian pungutan sawit di tahun 2021 yang mencapai Rp 71,64 triliun.

"BPDPKS melakukan pungutan terhadap kegiatan eksportasi, jumlah pungutan ekspor berada di Rp 34,9 triliun tahun ini. Kalau dibandingkan 2021 itu mencapai Rp 71,64 triliun," jelas Eddy dalam paparan kinerja BPDPKS 2022 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat, Kamis (22/12/2022).

Turunnya pungutan ekspor, kata Eddy, terjadi karena pemerintah sempat menetap kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya di medio April-Mei yang lalu. "Dari situ BPDPKS tak mendapatkan penerimaan dari pungutan ekspor sama sekali," katanya.

Tak lama setelah pelarangan ekspor dicabut, pemerintah menerapkan kebijakan pembebasan pungutan ekspor. Eddy bilang hal itu dilakukan untuk mengakselerasi kegiatan ekspor sawit yang sempat dilarang pemerintah.

Konsekuensinya, BPDPKS kembali lagi tak mendapatkan pemasukan. Pembebasan pungutan ekspor dilakukan sejak 15 Juli hingga 15 November yang lalu, seiring dengan itu selama 4 bulan BPDPKS tak bisa memungut apapun.

"15 Juli lalu pungutan ekspor dibebaskan, artinya 0%. Berlaku terus sampai ke 15 November lalu, maka dari itu 4 bulan kami tidak mendapatkan penerimaan dari ekspor," ungkap Eddy.

Dana pungutan sawit sendiri digunakan untuk berbagai kebijakan pengembangan industri kelapa sawit. Salah satunya adalah untuk melakukan program peremajaan sawit rakyat (PSR).

PSR sendiri adalah program untuk meningkatkan produktivitas sawit tanpa harus membuka lahan baru. Program itu dilakukan untuk mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal di Indonesia. BPDPKS akan memberikan dana segar kepada para petani untuk melakukan replanting atau penanaman kembali perkebunan sawit.

Nah, capaian program PSR sendiri saat ini terus menurun. Dari data yang dipaparkan Eddy, sejak tahun 2021 capaian PSR turun. Tahun ini saja pihaknya kemungkinan hanya mampu menyalurkan dana PSR sebesar Rp 923 miliar dengan luas lahan mencapai 30.579 hektare.

Di 2021, capaian program PSR mencapai Rp 1,26 triliun penyaluran dananya dengan luas lahan mencapai 42.212 hektare. Capaian terbaik program PSR ada pada tahun 2020, ada sekitar Rp 2,67 triliun dana yang disalurkan BPDPKS dengan luas lahan mencapai 94.033 hektare.

Lantas apa penyebab realisasi PSR menurun, apakah karena pungutan ekspor yang makin menyusut? Eddy membantah hal tersebut, menurutnya menurunnya realisasi PSR terjadi karena regulasi baru yang memperketat syarat bagi para petani untuk mendapatkan bantuan PSR.

"Mengapa demikian? Karena ada ketentuan regulasi baru bahwa petani harus jamin lahan tadi clean and clear. Lahan harus tidak ada di kawasan hutan, perlindungan gambut, dan tidak tumpang tindih HGU. Banyak petani laporkan kesulitan untuk mendapatkan syarat-syarat itu," kata Eddy.

Eddy menekankan meskipun penerimaan pungutan ekspor turun sangat besar di tahun ini, dia menjamin tahun 2023 keuangan BPDPKS masih sangat sehat. Termasuk untuk membiayai berbagai program yang ditugaskan ke BPDPKS, mulai dari program peremajaan sawit rakyat hingga program biodiesel.

Hal itu terjadi karena pihaknya masih memiliki sisa saldo dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 20 triliun. Tahun depan sendiri pihaknya menargetkan penerimaan hanya mencapai Rp 30-an triliun, jauh di bawah penerimaan pungutan ekspor tahun ini.

"Proyeksi kami di 2023 penerimaan kurang lebih Rp 30-an triliun. Kemungkinan akan ada defisit kalau seandainya kita hanya andalkan penerimaan pungutan ekspor. Namun defisit kami yakin bisa ditutup, karena di 2022 ada reserve dari saldo kita dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 20 triliun," ungkap Eddy.

"Jadi saya yakin sisi keuangan kita masih oke di 2023. Semua akan bisa kita danai," tegasnya.

(hal/das)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT