Perusahaan energi asal Amerika Serikat (AS), ExxonMobil melaporkan keuntungan US$ 55,7 miliar atau Rp 834,8 triliun (kurs Rp 14.987) pada 2022. Hal ini merupakan salah satu dampak dari perang Rusia dan Ukraina.
Pada kuartal IV-2022, laba perusahaan naik 43,7% menjadi US$ 12,8 miliar atau Rp 191,8 triliun. Hal tersebut berkat harga minyak dan gas alam yang tinggi serta margin penyulingan yang lebih baik dibanding tahun lalu.
Adapun pendapatan Oktober hingga Desember naik 12,3% menjadi US$ 95,4 miliar. Hasilnya mencerminkan produksi minyak dan gas alam yang sedikit lebih tinggi pada tahun 2022. Menurut Kepala Eksekutif Darren Woods, hal tersebut mencerminkan investasi ExxonMobil sebelum pandemi Covid-19.
"Sementara hasil kami jelas mendapat keuntungan dari pasar yang menguntungkan, investasi counter-cyclical yang kami lakukan sebelum dan selama pandemi menyediakan energi dan produk yang dibutuhkan masyarakat saat ekonomi mulai pulih dan pasokan menjadi terbatas," kata Woods, dikutip dari AFP, Rabu (1/2/2023).
Pada 2020, ExxonMobil dikeluarkan dari indeks Dow. Sementara itu sahamnya merana selama krisis virus corona, sehingga mengurangi permintaan minyak bumi. Pada saat itu, perusahaan dikritik karena mengambil lebih banyak utang daripada saingannya.
Keuntungan besar oleh perusahaan minyak telah memicu penolakan dari pemerintah. Pada Desember, ExxonMobil menggugat kebijakan pajak 'rejeki nomplok' baru di Eropa.
ExxonMobil, bersama dengan saingannya Chevron, juga berdebat dengan Presiden AS Joe Biden, yang telah memukul raksasa energi itu lantaran membeli kembali saham alih-alih memasukkan dana ekstra ke dalam investasi minyak dan gas baru.
Pada 2022, ExxonMobil memasukkan US$ 29,8 miliar ke dalam distribusi pemegang saham, dibagi rata antara dividen dan pembelian kembali saham.
Simak Video "Jokowi Minta Waspadai Kenaikan Harga Roti-Mi Instan Imbas Perang Ukraina"
[Gambas:Video 20detik]
(Almadinah Putri Brilian/ara)