Seberapa Efektif Aturan Baru Jokowi Atasi Proyek DME yang Mandek?

ADVERTISEMENT

Seberapa Efektif Aturan Baru Jokowi Atasi Proyek DME yang Mandek?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Minggu, 12 Mar 2023 17:30 WIB
Infografis sederet fakta DME yang bakal ganti LPG buat masak
Foto: Infografis detikcom/Luthfy Syahban
Jakarta -

Pemerintah tengah mendorong hilirisasi batu bara alias gasifikasi di Indonesia, salah satunya lewat proyek gasifikasi batu bara Dimethyl Ether (DME) PT Bukit Asam di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Hanya saja, proyek tersebut mengalami kendala hingga mandek dalam setahun terakhir.

Juru Kampanye Energi Trend Asia Novita Indri Pratiwi mengatakan, mandeknya proyek gasifikasi batu bara ini telah diperkirakan sejak awal oleh pemerhati lingkungan. Ia menyebut, nilai manfaat proyek tidak sebanding dengan nilai investasi yang dikeluarkan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

"Alih-alih mendapatkan pertambahan nilai melalui gasifikasi batu bara, proyek ini justru berpotensi merugikan negara dan memperparah kondisi lingkungan yang sudah rusak. Juga tampak jelas bahwa proyek ini hanya jadi dalih perpanjangan penggunaan energi kotor seperti batubara," kata Novita dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (12/3/2023).

Adapun alasan mandeknya proyek ini sempat diungkapkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yakni karena badan usaha terkait belum sepakat soal hitung-hitungan investasi dan untung rugi proyek.

Badan usaha yang terlibat antara lain PT Pertamina sebagai offtaker (pembeli), PT Bukit Asam Tbk, dan Air Products and Chemical Inc (APCI). Adapun total investasi proyek mencapai US$ 15 miliar.

Menurutnya, kendala kesepakatan keuangan akan membuat pemerintah terpaksa turun tangan mengucurkan bantuan-bantuan. Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diberitakan akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) agar perusahaan terlibat tidak mengalami kerugian dalam menjalankan bisnisnya.

"Hal ini makin mempertegas bahwa dari awal proyek ini tidak layak dan hanya mengutamakan kepentingan bisnis," ujarnya.

Ia menambahkan, berbagai kemudahan dan insentif juga telah diberikan bagi perusahaan yang melakukan penambahan nilai dengan menghilirisasi batubara melalui UU Minerba dan Perppu Cipta Kerja.

"Jika kepastian subsidi ini akan diatur dalam Perpres khusus, maka hal ini menunjukkan pemerintah Indonesia tidak mampu menentukan skala prioritas di mana dana publik seharusnya bisa dialihkan untuk kebutuhan pendanaan transisi energi bersih terbarukan yang masih sangat minim," katanya.

Kondisi ini sebelumnya telah diproyeksikan oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) melalui laporannya pada 2020 silam yang menyatakan proyek ini tidak layak karena tidak memiliki nilai keekonomian.

Bersambung ke halaan selanjutnya.

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT