Tidak hanya itu, berdasarkan hasil analisisnya, proyek gasifikasi batu bara DME ini akan menimbulkan utang baru sebesar US$ 2 miliar. Termasuk juga akan merugikan negara sebesar US$ 377 juta per tahunnya atau setara Rp 5,43 triliun per tahun.
Nilai kerugiannya jauh lebih besar dibandingkan nilai penghematan impor LPG sebesar US$ 19 juta atau setara Rp 273,7 miliar, yang diklaim pemerintah Indonesia untuk menjustifikasi pembangunan proyek ini. Potensi angka kerugian ini akan bertambah mengingat selain PTBA, proyek gasifikasi batubara juga akan dijalankan oleh PT Adaro Energy, PT Indika Energy, dan PT Batulicin Enam Sembilan.
Selain itu, wajib pajak Indonesia juga akan membayar lebih mahal untuk energi yang lebih sedikit. Sebab, menurut kalkulasi IEEFA, total biaya produksi DME sebesar US$ 470 per ton hampir dua kali lipat lebih besar dari biaya produksi LPG sebesar US$ 365 per ton.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi bukannya membawa manfaat bagi negara, proyek hilirisasi ini justru akan memberi beban finansial besar bagi keuangan negara," ujar Novita.
Tidak hanya secara ekonomi, proyek gasifikasi batubara juga merusak lingkungan. Laporan AEER pada 2020 silam mengungkap, jika proyek beroperasi maka akan menghasilkan emisi lima kali lebih banyak, 4,26 juta ton CO2-eq per tahun, dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas sama, 1,4 juta ton per tahun.
"Upaya Indonesia dalam mencapai Perjanjian Paris, menekan laju emisi dan transisi energi berkeadilan akan terhambat dengan proyek nilai tambah semu seperti gasifikasi," pungkasnya.
Sebagai tambahan informasi, persoalan ini tengah mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
Bahlil mengatakan, Jokowi meminta adanya percepatan pengembangan proyek gasifikasi batu bara menjadi dymethil ether (DME). Proyek DME digadang-gadang akan bisa menjadi pengganti gas LPG. Arahan Jokowi disampaikan dalam rapat terbatas yang dilakukan hari ini di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
"Bapak Presiden memerintahkan kami untuk melakukan percepatan, ini adalah bagian dari mengoptimalkan batu bara low calories untuk DME kita. Karena kita tahu kita masih impor sekitar 6-7 juta ton (gas LPG) per tahun dan perlahan kita akan kurangi impor dari subtitusi DME," sebut Bahlil ditemui di Kawasan Kepresidenan, Selasa (7/3/2023).
Bahlil mengungkapkan masalah yang terjadi pada proyek ini adalah lamanya pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) yang menugaskan PT Bukit Asam dalam proyek ini. Perpres itu juga akan berisikan dukungan pemerintah agar proyek ini tetap menguntungkan untuk dijalankan oleh Bukit Asam.
Dia melanjutkan masih ada perhitungan tentang harga karbon yang masih mesti dilakukan. Meski begitu, dia menegaskan Perpres penugasan gasifikasi batu bara akan segera selesai dan proyek DME Bukit Asam bisa segera dilanjutkan.
Ketika disinggung soal proyek DME kurang menguntungkan bagi Bukit Asam, Bahlil bilang sampai saat ini perhitungan masih dilakukan. Namun, semuanya masih dalam koridor yang baik.
"Dalam bisnis ada untung rugi lah, dan memang bisnis itu hitungannya untung rugi dan tidak mungkin hitung yang lain tapi semua dalam koridor nanti saya akan sampaikan hasilnya kalau sudah selesai," tegas Bahlil.
(dna/dna)