Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mendorong BUMN untuk mulai melakukan perdagangan karbon atau jual beli karbon kredit. Hal ini dilakukan dalam rangka mengejar transisi energi dan penurunan emisi karbon.
Saat ini, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Adapun sektor strategis yang menjadi prioritas adalah sektor kehutanan, energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.
"Kita melihat kolaborasi antara BUMN sendiri untuk membangun kerja sama dalam menghasilkan energi dan menurunkan emisi bisa dilakukan. BUMN kita juga bisa kerja sama dengan negara lain. Pada intinya, bagaimana BUMN bisa bersama-sama melakukan transisi energi," ujar Pahala dalam keterangannya, Selasa (21/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pahala menambahkan ada banyak standar pemeringkatan dalam penilaian karbon. Namun, yang paling banyak dilakukan adalah standar nilai karbon yang diterapkan oleh Verra. Nilai carbon offset yang diperdagangkan nilainya sekitar US$ 20-40. BUMN bisa melakukan uji coba dengan harga setengahnya sebagai acuan.
Mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Pahala menyebut kemungkinan besar nilainya antara US$2-3.Menurutnya, NEK dianggap penting karena dapat mendorong investasi hijau di Indonesia sekaligus mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim yang selama ini terjadi.
Guna mewujudkan upaya ini, Pahala meminta BUMN untuk serius mulai melakukan transisi energi dengan berbagai cara seperti sinergi dan kolaborasi.
Anak Usaha Pertamina Bukukan Pendapatan Kredit Karbon
Dalam rangka mendukung upaya pemerintah, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO), anak usaha Pertamina, telah membukukan pendapatan baru dari hasil perdagangan karbon. Direktur Keuangan PGEO Nelwin Aldriansyah menyatakan pihaknya berkomitmen untuk aktif melakukan transisi energi.
"Untuk pertama kalinya pada 2022, Pertamina Geothermal Energy (PGE) mencatatkan pos pendapatan baru dari penjualan carbon credit. Ini membuktikan bahwa operasional PGE telah mendapatkan sertifikasi dari berbagai lembaga karbon kredit sehingga PGE berhak untuk memonetisasi atas penjualan karbon kredit dari operasional PGE," papar Nelwin.
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus US$300 miliar atau sekitar Rp 4.625 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp15.418 per US$) per tahun. Adapun jumlah ini berasal dari kegiatan reboisasi hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sudah resmi meluncurkan perdagangan karbon. Mulai 2023-2024, perdagangan karbon dilakukan di subsektor pembangkit tenaga listrik secara mandatory.
Dalam hal ini, perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon ini pun diimplementasikan melalui 2 mekanisme, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.
Untuk mengawal kinerja keuangan tetap solid, PGEO melakukan sejumlah strategi dan upaya monetisasi. Beberapa di antaranya dengan menjaga pendapatan, EBITDA margin maupun profit margin yang stabil hingga rasio utang yang terjaga.
Pada kuartal III/2022, PGEO membukukan laba bersih sebesar US$ 111 juta. Angka ini tumbuh 67,8% dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 66 juta.
"Net profit margin pada sembilan bulan pertama 2022 mencapai 38,8%, dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang hanya 24%," ungkap Nelwin.
Sementara itu, pendapatan perseroan hingga September 2022 sebesar US$287 juta, tumbuh 3,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$277 juta.
Selain itu, perseroan mencatatkan EBITDA sebesar US$244 juta hingga September 2022, naik 10,1% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$221 juta.
"EBITDA margin PGE pada kuartal III/2022 mencapai 84,7%, naik cukup tinggi dibandingkan tiga tahun terakhir yang berkisar di 80%," jelas Nelwin.
Sementara itu, total utang PGEO (utang jangka pendek dan jangka panjang) juga menurun dari US$ 1,18 miliar pada 2019 menjadi US$ 931 pada kuartal III/2022. Adapun, rasio total debt terhadap EBITDA tercatat 4,6 kali pada 2019 dan turun menjadi 3 kali per September 2022, sedangkan net debt terhadap EBITDA turun menjadi 2,2 kali per September 2022, dari 4 kali pada 2019.
(fhs/ega)