PT Freeport Indonesia masih diizinkan untuk mengekspor tembaga. Sebelumnya, ekspor tembaga direncanakan untuk dilarang pertengahan tahun ini.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan izin ekspor tembaga ini diberikan dengan beberapa syarat khusus.
"Iya tapi dengan syarat-syarat tertentu pastinya, antara lain harus ada kewajiban yang harus dia kompensasikan," ungkap Arifin usai melakukan rapat terbatas di Kawasan Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (28/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syarat utama itu adalah Freeport harus mengebut pembangunan smelter. Sejauh ini progres smelter baru 60%.
"Syaratnya ya memang yang terkait dengan smelter. Dia boleh ekspor kalau dia bangun smelter, nah sementara ini kan progresnya bulan ini sudah 60% tapi kan memang harusnya secara aturan harus selesai 2023," sebut Arifin.
Dia mengatakan Freeport hanya diberikan waktu hingga pertengahan tahun depan untuk menyelesaikan smelter dan juga diberikan izin untuk ekspor tembaga konsentrat.
"Komitmennya dia menyelesaikan dan dia nggak boleh lebih dari pertengahan tahun depan," ujar Arifin.
Arifin menjelaskan pembangunan smelter Freeport yang mandek karena pandemi menjadi salah satu pertimbangan ekspor diperbolehkan kembali. Pasalnya, bila smelter belum selesai dan konsentrat tembaga tak bisa diekspor akan memberikan kerugian besar juga bagi pemerintah karena memiliki porsi saham besar di Freeport.
Tanpa smelter, tembaga tak bisa dihilirisasi untuk mendapatkan nilai tambah. Di sisi lain, pemerintah pun bisa kehilangan keuntungan besar dari ekspor tembaga mentah.
"Ya kan kita tahu bahwa dalam pembangunan itu kan terkendala ada pandemi yang menjadi bahan konsiderasi kita. Karena kalau disetop (ekspor tembaga) sama sekali kan juga MIND ID itu sahamnya 51% itu Indonesia sudah 51% sahamnya. Dampaknya akan lebih banyak ke kita. Jadi ya kita udah cari jalan keluarnya," papar Arifin.
Dia mengatakan kendala pembangunan smelter Freeport memang sangat besar karena pandemi COVID-19. Pembangunan mandek karena kontraktor Jepang tak bisa bekerja.
"Kita consider kendala yang dihadapi pembangunannya. Kan waktu COVID, dia kontraktornya Jepang. Jepang aja berapa tahun aja itu lockdown-nya. Memang pengerjaan engineering-nya agak sulit berprogres. Kalau engineering nggak progress pembelian materi procurement-nya juga nggak berprogres," ungkap Arifin.
(hal/ara)