Indonesia tercatat memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yakni 52% dari total cadangan nikel dunia. Pemerintah pun telah melakukan berbagai upaya agar sumber daya alam tersebut terkelola dengan baik.
Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Nikel Perjuangan (APNIPER) Achyar Al Rasyid merespon perkembangan industri nickel di Indonesia. Ia mengatakan sejak diberlakukan pelarangan ekspor biji nikel 1 Januari 2020, terjadi butterfly effect yang positif terhadap sirkulasi hilirisasi hikel. Termasuk penyerapan tenaga kerja, pendapatan pajak, dan keberlangsungan investasi.
Namun turunnya permintaan stainless steel global menjadi challenge baru ketika suplay lebih banyak daripada demand-nya. Dan melimpahnya cadangan ore nikel tidak diikuti dengan penyerapan daya beli smelter pemurnian nikel. Mengingat banyak smelter di Indonesia menggunakan teknologi Rotary Kiln electric Furnacae (RKEF) untuk mengolah ore nikel kadar tinggi (saprolite).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penurunan permintaan stainless steel global mempengaruhi daya beli smelter terhadap ore nickel dimana ber-efek juga kepada para penambang. Beberapa smelter memilih untuk mengurangi pembelian ore nickel demi menjaga stabilitas cashflow.
"Hal ini memerlukan langkah-langkah terobosan yang dilakukan untuk menjaga keberlanjutan saat ini, karena pengurangan penyerapan ore nickel oleh smelter nickel menyebabkan para pelaku usaha tambang juga mengalami penurunan dan kesulitan produksi. Solusi pertama yang ditawarkan adalah perlu ada langkah untuk bisa menurunkan cost produksi smelter nickel. Cost produksi smelter nickel terbesar itu ada pada energi, yaitu batubara. Harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) sebagai salah satu kandungan di dalam stainless steel. Batu bara digunakan untuk memanaskan tungku pembakaran ore nickel. Ketersediaan batu bara nasional dan harga yang kompetitif sangat krusial untuk menjaga sustainabilitas industri nickel tanah air," ujarnya dalam jumpa pers tengah Hilirisasi Nikel Merespon Industri Nikel di Indonesia saat ini, Kamis (11/5/2023).
Pasca penetapan (domestic market obligation) DMO 25%, ditetapkan harga jual batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik demi Kepentingan Umum sebesar USD 70 (tujuh puluh dollar Amerika Serikat) per metrik ton Free On Board (FOB) Vessel, sementara untuk harga industri lainnya tidak mengalami "spesialisasi".
Hal ini yang memengaruhi harga pokok produksi Nickel Pig Iron (NPI) meningkat. Namun apabila terdapat penyetaraan harga antara untuk tenaga listrik dan industri pemurnian nikel (smelter), merupakan solusi untuk menekan harga pokok produksi.
"Solusi yang pertama adalah, pemerintah perlu memberlakukan harga jual batubara untuk Smelter Nickel dalam negeri dengan harga yang sama untuk Penyediaan Temaga Listrik, yaitu sebesar 70 USD per metrik ton FOB Vessel", ujar Kandidat Ph.D., Tianjin University, Tiongkok ini.
Achyar menambahkan jika HPM (harga patokan mineral) yang diturunkan untuk menjaga stablitas cashflow industri pemurnian nickel (smelter) tentu saja yang akan babak belur adalah para penambang karena ore yang dihasilkan penambang di beli murah oleh smelter.
"Mengingat semangat sustainabilitas adalah bagaimana menawarkan win win solution kepada semua pihak yang terlibat di lingkaran industri nikel tanah air," katanya.