Gejolak geopolitik berpengaruh terhadap komoditi minyak dan gas di dalam negeri. Menurut Komisaris Utama PGN Arcandra Tahar, dari sisi dalam negeri fluktuasi naik-turunnya harga komoditas mesti diantisipasi dan bersiap dengan apa yang akan dikerjakan.
Arcandra mengatakan salah satu langkah untuk menghadapi gejolak harga, yakni dengan memanfaatkan peluang di masa transisi energi menuju energi terbarukan.
"Saat ini kita masih berputar dengan fosil, suatu saat nanti akan ke zero emisi. Di antara fosil dan zero emisi ada di tengah-tengah itu dinamakan transisi. Masa transisi, energi fosil yang impact emisi terhadap environmentnya kecil atau minimum, dalam hal ini adalah gas bumi. Maka gas menjadi pilihan yang harus kita gunakan selama masa transisi, sebelum nanti benar-benar beralih ke NRE," jelas Arcandra dalam keterangan tertulis, Minggu (14/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arcandra menuturkan gas bumi merupakan salah satu komoditas energi yang ikut berperan dalam menndorong ketahanan energi dalam negeri saat ini. Sesuai amanat undang-undang yang menyatakan sumber daya alam (SDA) dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, prinsip pengelolaan SDA harus diarahkan pada upaya untuk memperpanjang rantai pengolahan di dalam negeri agar kebermanfaatan bagi rakyat semakin besar.
"Gas dapat diolah menjadi LNG, bisa saja dalam bentuk petrochemical atau pupuk, itu rantainya (pengolahannya) sudah panjang. Apalagi petrochemical, produk turunannya semakin banyak lagi. Semakin banyak turunannya, maka harganya akan semakin tinggi dan kebermanfaatannya juga semakin tinggi. Prinsip itu yang harus kita kembangkan, sehingga lapangan kerja tercipta dan pertumbuhan ekonomi kian merata ke daerah-daerah," papar Arcandra.
Di sisi lain, lanjutnya, pembangunan industri manufaktur akan meningkat. Hal itu memungkinkan kebutuhan komoditas energi juga meningkat. Umumnya, kata Arcandra, gas menggunakan pipa ke industri yang membutuhkan atau bisa juga diubah menjadi LNG yang saat ini sudah berfungsi sebagai komoditas dan bisa diperjualbelikan.
"Menurut hemat saya, transisi energi, lebih kepada local wisdom. Eropa mati-matian dengan wind, karena memang anginnya kencang di sana. Di Timur Tengah menggunakan matahari. Indonesia, (local wisdom) apa yang kita punya untuk renewable energy. Dari sisi kebijakan, pemerintah sekarang sudah memikirkan dengan matang termasuk dalam hal pemanfaatan gas di masa transisi," terang Arcandra.
Kondisi geopolitik yang penuh dengan ketidakpastian, sebut Arcandra, juga berpengaruh terhadap harga migas. Siklus naik turun seolah menjadi sebuah kepastian, namun akurasinya kurang begitu sesuai. Menurutnya lebih baik untuk lebih mengedepankan langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk memitigasi dampak dari ketidakpastian tersebut.
"Yang terpenting adalah langkah-langkah apa yang akan kita kerjakan. Ini salah satunya di Eropa. Salah satu langkah mitigasi Eropa saat ini adalah sewaktu mengandalkan gas pipa dari Rusia, mereka tidak mengantisipasi kalau ada hal-hal tertentu yang mengakibatkan gas tidak mengalir. Setahun belakangan ini mungkin sampai tahun depan, mereka berlomba-lomba membangun fasilitas infrastruktur agar LNG dari negara pengekspor gas bisa masuk ke Eropa," urai Arcandra.
Arcandra memandang dengan merdekanya Eropa dari ketergantungan gas dari satu negara, kemungkinan harga gas akan turun.
"Berapa turunnya, kapan turunnya, itu yang menjadi misteri," cetus dia.
Arcandra menambahkan di Indonesia ketergantungan impor cukup besar. Kebutuhan minyak dalam negeri kira-kira 1,4 juta barel per hari. Sementara itu, produksi kilang dalam negeri untuk menghasilkan BBM sekitar 800 ribu barel per hari, sehingga mengharuskan impor BBM sekitar 600 ribu barel per hari.
Di sisi lain, beber Arcandra, kondisi kilang dalam negeri dulunya didesain hanya dapat menerima jenis minyak mentah tertentu. Meskipun minyak mentah yang diolah di kilang yang bukan spesifikasinya dapat menghasilkan produk turunanya BBM dan lain-lain, tapi tidak seefisien mengolah minyak mentah yang sesuai dengan spesifikasi kilang.
"Salah satu yang mempengaruhi harga komoditi adalah geopolitik. Tentu pemerintah tahu persis dan bagaimana seharusnya bertindak. Dari sisi geopolitik dan hubungan bilateral menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi perpolitikan dunia, karena impactnya cukup besar. Tentunya kita bisa mempertimbangkan kebijakan negara lain yang cocok untuk dicontoh. Seperti halnya dalam menentukan strategi-strategi transisi dengan diversifikasi usaha ataupun dekarbonisasi menuju renewable energy," ujar Arcandra
(akn/ega)