Kontrak Karya (KK) perusahaan tambang nikel asal Kanada di Indonesia, PT Vale Indonesia Tbk (INCO), akan berakhir pada 2025 mendatang. Namun, sejak kontrak dimulai pada tahun 1968, Indonesia hanya memiliki saham 20% yang dimiliki Holding BUMN Tambang MIND ID dan 20,7% saham publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Nilai tersebut disebut belum tentu murni dimiliki Indonesia.
Diketahui, hingga saat ini mayoritas saham PT Vale Indonesia masih dimiliki asing, yaitu Vale Canada Limited (VCL) 44,3%, Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) 15%.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut sudah sepantasnya pemerintah tidak memperpanjang kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk (INCO) untuk beralih menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebab dia menilai konsesi lahan tambang PT Vale Indonesia lebih baik dikembalikan ke negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebaiknya pascakontrak berakhir dikembalikan ke negara saja, dibanding divestasi dengan saham negara yang kecil," ujar Bhima dikutip dari CNBC, Selasa (6/6/2023).
Menurut Bima, dengan konsesi lahan tambang Vale, negara melalui BUMN bisa melakukan operasional tanpa tantangan berarti. Dengan demikian, maka bagi hasil ke negara akan jauh lebih besar kalau dikelola sendiri.
"Kalau diperpanjang kontraknya khawatir rantai bahan baku nikel untuk kebutuhan industri baterai di dalam negeri sulit dipenuhi," terangnya.
Senada dengan Bhima, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto juga mengatakan sudah sepantasnya Kontrak Karya Vale dikembalikan ke negara lebih dulu. Dia juga mendorong wilayah konsesi tambang yang digarap PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dapat dikembalikan kepada negara.
Menurutnya hal itu bukan tanpa alasan. Sebab pengambilalihan tambahan saham 11% melalui MIND ID dinilainya tidak akan berarti apa-apa baik bagi MIND ID maupun Indonesia.
Mulyanto menambahkan pengambilalihan saham 11% ini berkaitan dengan kewajiban divestasi 51% saham Vale kepada Indonesia. Terutama sebelum perusahaan mengajukan perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada 2025.
"Sesuai UU Minerba, divestasi saham secara bertahap untuk nasional minimal 51%. Sebaiknya dikembalikan kepada negara," ungkap Mulyanto.
Mulyanto juga menyoroti 51% saham Indonesia di PT Vale Indonesia seharusnya tidak termasuk 20,7% yang merupakan milik publik. Sebab kepemilikan saham publik sebesar 20,7% di PT Vale Indonesia dinilai kurang jelas asal-usulnya dan belum tentu dimiliki murni oleh Warga Negara Indonesia.
"Tidak (tidak termasuk saham publik). Yang di bursa kan tidak jelas," kata Mulyanto.
Sebagai informasi, Vale berencana akan membangun smelter nikel baru. Disebut ada tiga proyek smelter baru dengan perkiraan nilai investasi sekitar Rp 140 triliun. Tiga proyek tersebut adalah proyek Sorowako senilai US$ 2 miliar, proyek Bahodopi senilai US$ 2,5 miliar, dan proyek Pomalaa senilai US$ 4,5 miliar. Tetapi hingga saat ini, tiga proyek tersebut belum beroperasi.
(ncm/ega)