Menjelang berakhirnya kontrak karya pada 2025, PT Vale Indonesia mesti melepas sahamnya untuk menambah kepemilikan Indonesia. Sebab, hingga saat ini kepemilikan perusahaan tambang nikel itu masih didominasi perusahaan asing, yakni Vale Canada Limited (VCL) 44,3%, Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) 15%.
Adapun kontrak pertama Vale dimulai sejak 1968 lalu. Artinya, sudah lebih 55 tahun Vale menambang nikel di Indonesia. Namun demikian kepemilikan murni Indonesia hanya 20%, yakni dimiliki Holding BUMN Tambang MIND ID. Sementara itu, 20,7% saham merupakan saham publik terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga tidak murni dimiliki Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto mendorong agar wilayah konsesi tambang yang digarap Vale dapat dikembalikan kepada negara. Mengingat, pengambilalihan tambahan saham 11% melalui MIND ID menurutnya tidak akan berarti apa-apa baik bagi MIND ID maupun Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengambilalihan saham 11% ini terkait dengan kewajiban divestasi 51% saham Vale kepada Indonesia sebelum mengajukan perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada 2025.
"Sesuai UU Minerba, divestasi saham secara bertahap untuk nasional minimal 51%. Sebaiknya dikembalikan kepada negara," ungkap Mulyanto dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (6/6/2023).
Menurut Mulyanto 51% saham Indonesia di PT Vale Indonesia seharusnya tidak termasuk 20,7% yang merupakan milik publik. Sebab, kepemilikan saham publik sebesar 20,7% di PT Vale Indonesia dinilai kurang jelas dan belum tentu dimiliki murni oleh Warga Negara Indonesia.
"Tidak (tidak termasuk saham publik). Yang di bursa kan tidak jelas," tegas Mulyanto.
Hal senada diungkapkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, sudah sepantasnya pemerintah tidak memperpanjang kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk (INCO) untuk beralih menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ia memandang sebaiknya konsesi lahan tambang milik PT Vale Indonesia dikembalikan ke negara.
"Sebaiknya pascakontrak berakhir dikembalikan ke negara saja, dibanding divestasi dengan saham negara yang kecil," tutur Bhima.
Bhima menjabarkan dengan konsesi lahan tambang yang selama ini dikuasai Vale, negara melalui BUMN bisa melakukan operasional tanpa tantangan yang berarti. Dengan demikian, bagi hasil ke negara akan jauh lebih besar kalau dikelola sendiri.
"Kalau diperpanjang kontraknya khawatir rantai bahan baku nikel untuk kebutuhan industri baterai di dalam negeri sulit dipenuhi," ujar Bhima.
(ncm/ega)