Jakarta -
Ekonom senior Faisal Basri mengkritik hilirisasi nikel yang dinilai tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia, tapi justru menguntungkan China. Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto membantah pernyataan Faisal Basri.
Ada lima pernyataan Faisal Basri yang dibantah oleh Seto, termasuk soal penerimaan ke negara dari ekspor produk hilirisasi nikel hingga masalah tax holiday alias insentif pajak untuk pelaku usaha selama 20 tahun.
"Ada lima klaim Faisal Basri dalam artikel bantahannya, yaitu (1) Angka ekspor produk hilirisasi nikel Rp 510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah, (2) Pemerintah mendapatkan pajak dan penerimaan negara yang lebih kecil dengan melarang ekspor bijih nikel, (3) Pemerintah memberikan harga bijih nikel "murah" kepada para smelter, (4) Nilai tambah hilirisasi nikel 90% dinikmati investor Tiongkok, (5) Kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun," ujar Seto dalam keterangannya, Sabtu (12/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seto menerangkan yang pertama terkait klaim Faisal Basri bahwa angka ekspor hilirisasi nikel tahun 2022 Rp 510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah, karena menurut hitungan dia angkanya Rp 413,9 triliun. Menurutnya kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$ 27,8 miliar atau Rp 413,9 triliun.
"Padahal hilirisasi nikel kita juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75," ujar dia.
Kemudian, tahun 2022, nilai ekspor nickel matte dan MHP adalah US$ 3,8 miliar dan US$ 2,1 miliar. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73. Seto menjelaskan, jika angka ekspor semuanya di total maka angkanya adalah US$ 34,3 miliar atau Rp 510,1 triliun. Menurut Seto, hal itu sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan.
Kedua, Seto menjawab Faisal Basri yang mengatakan bahwa negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel, karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday 20 tahun. Menurutnya Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah.
"Tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar Rp 30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar," terang dia.
Seto mengungkap, berdasarkan data pemberian tax holiday tahun 2018-2020, rata-rata perusahaan smelter hanya mendapat insentif tax holiday 7-10 tahun. Cuma ada dua yang memperoleh 20 tahun, dan saat ini hanya satu yang beroperasi.
"Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Setelah periode tax holiday habis, maka mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan," jelas dia.
Seto menerangkan untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan. Dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday (KBLI 24202), dan penerimaan perpajakan dari KBLI tersebut, nantinya dapat terlihat tren peningkatan yang signifikan dari pendapatan perpajakan tahun 2016-2022.
Seto pun membeberkan penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp 17,96 triliun, atau naik sebesar 10,8 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 1,66 triliun. Untuk pendapatan PPh Badan tahun 2022 adalah Rp 7,36 triliun atau naik 21,6 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 0,34 triliun.
Jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data tahun 2019, pendapatan pajak ekspor hanyalah sebesar Rp 1,55 triliun atau 10% dari nilai ekspor bijih nikel sebesar US$ 1,1 miliar. Angka tersebut tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp 3,99 triliun di tahun 2019.
"Jadi, analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data di atas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini. Perlu dicatat pula bahwa penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi," tegas Seto.
Ketiga, Seto menjawab mengenai Faisal Basri yang mengatakan Indonesia memberikan harga bijih nikel murah. Ia pun menyinggung sistem supply dan demand. Menurutnya, hal ini lah yang terjadi pada saat Pemerintah melakukan pelarangan ekspor tahun 2020 sampai saat ini, harga internasional naik karena supply bijih nikel dari Indonesia hilang.
"Sehingga smelter-smelter nikel di Tiongkok hanya mengandalkan supply dari Filipina dan beberapa negara lain. Padahal Indonesia adalah supplier terbesar bijih nikel ke Tiongkok sebelumnya," ujar dia.
Seto mengatakan jika ekspor bijih nikel Indonesia kembali dibuka, maka harga internasional pasti akan turun karena supply bertambah dari Indonesia, sehingga perbedaan antara harga nikel internasional dengan HPM pasti akan lebih kecil. Untuk itu, pihaknya membandingkan harga ekspor bijih nikel periode tahun 2018-2019, ketika ekspor bijih nikel masih dilakukan, dengan HPM Nikel di periode yang sama.
Berdasarkan data yang dia peroleh, selisih antara harga ekspor dengan harga HPM dengan grade 1,7% dan MC 35% hanyalah US$ 5,5/ton dan US$ 6,9/ton masing masing di tahun 2018 dan 2019. Selisih ini, berdasarkan temuan pihaknya pada waktu itu, ada sebagian disebabkan karena kualitas bijih nikel yang diekspor melebihi 1,7%.
Seto juga menjawab terkait penalti dan beban biaya lain yang harus ditanggung oleh penambang nikel. Ia mengatakan memang benar pernah terjadi pembebanan yang tidak fair oleh smelter kepada para penambang. Hal ini disebabkan karena jumlah smelter yang sedikit dibandingkan dengan volume produksi bijih nikel dalam negeri yang besar.
Namun, ia menegaskan sejak diberlakukan Permen ESDM 11/2020 dan tindakan enforcementnya kasus-kasus tersebut jauh berkurang, apalagi kondisi saat jumlah smelter yang sudah cukup banyak justru menciptakan kekurangan supply bijih nikel. Menurut informasi terakhir yang dia terima dari para pelaku, harga beli bijih nikel saat ini bukan lagi HPM + US$2, tapi bisa jauh lebih besar dari itu apalagi untuk yang mau berkontrak jangka panjang.
"Memang masih ada perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah terkait hal ini, antara lain enforcement terhadap aturan ESG, dan juga beberapa aspek tata Kelola nikel yang lain. Namun, jika Faisal Basri menyatakan bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel "murah" kepada smelter, hal itu adalah berlebihan," jelas dia.
Keempat, terkait Faisal Basri yang mengatakan nilai tambah dari hilirisasi nikel 90% dinikmati oleh investor Tiongkok. Seto mengatakan pola pikir Faisal Basri salah. Menurutnya, ekspor bijih nikel ini terus dilakukan maka nilai manfaat dari bijih nikel yang kita miliki 100% dinikmati oleh negara lain. Jadi negara asing 100% dan Indonesia 0%. Tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.
Seto mengatakan, satu hal lain yang cukup penting adalah mayoritas dari investasi hilirisasi nikel di lakukan di wilayah Sulawesi dan Halmahera yang sebelumnya memiliki gap aktivitas ekonomi yang besar dengan Jawa. Dengan adanya investasi ini, terjadi penciptaan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi yang besar, yang tidak akan terjadi tanpa adanya hilirisasi nikel ini.
Seto juga menjawab tentang tenaga kerja di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) jumlah pekerja saat ini mencapai 74,7 ribu orang dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) sekitar 56 ribu orang. Hal ini belum memperhitungkan kawasan industri lain seperti VDNI, Gunbuster, dan Pulau Obi.
Dampak penciptaan lapangan pekerjaan dari hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah dan Halmahera juga berdampak positif terhadap penurunan angka kesenjangan pendapatan (koefisien gini). Angka koefisien gini di Sulawesi Tengah dan Halmahera turun dari 37,2% dan 32,5% di 2014 menjadi 30,8% dan 27,9% di tahun 2022.
"Untuk IWIP dan IMIP, jumlah tenaga kerja lokal rata-rata mencapai 85-90% dari total tenaga kerja. Gaji yang mereka hasilkan pun juga jauh lebih tinggi dari UMR, tidak seperti klaim Faisal Basri. Rata-rata gaji di IWIP bisa mencapai 7 juta sebulan, bahkan lebih tinggi dari UMR Jakarta," jelasnya.
Terakhir, Seto menjawab keterangan Faisal mengenai kebijakan hilirisasi nikel yang dinilai tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun. Dia mengatakan memang benar kontribusi industri pengolahan menurun pada periode 2014 dibandingkan 2022, namun hal itu sebagian besar disebabkan karena turunnya kontribusi subsektor industri batubara dan pengilangan migas, industri alat angkutan dan industri kayu, alat dari kayu dan lainnya yang turun masing-masing hingga 1,3%, 0,5% dan 0,4% terhadap PDB.
Sementara itu, kontribusi subsektor industri logam dasar terhadap PDB justru meningkat 0.1%, utamanya didorong oleh hilirisasi nikel. Seto menulai tanpa ada hilirisasi nikel, penurunan kontribusi industri pengolahan tentunya akan lebih turun.
"Kinerja hilirisasi nikel dalam mendorong industrialisasi terlihat di level provinsi. Sejak tahun 2014 hingga 2022, provinsi dimana hilirisasi nikel terjadi mengalami peningkatan share industri manufaktur yang signifikan. Kontribusi industri pengolahan di Sulawesi Tengah mengalami peningkatan hingga 34,4%, sementara kontribusi industri pengolahan di Maluku Utara mengalami peningkatan hingga 24%" tuturnya.
Seto menegaskan dampak konsistensi hilirisasi nikel ini selain sektor besi baja, Indonesia mampu menarik investasi-investasi baru dalam bidang baterai lithium. Nikel kadar rendah milik Indon3sia yang sebelumnya tidak dipakai, saat ini bisa diproses menjadi Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku utama baterai lithium.
"Bayangkan barang yang tadinya hanya sampah, saat ini bisa diproses menghasilkan bahan baku lithium baterai. Pastinya nilai tambahnya sangat besar," tuturnya.
Seto mengungkap untuk membuat baterai lithium membutuhkan ekosistem industri yang kompleks. Tidak hanya dibutuhkan nikel, tetapi juga produk hilirisasi cobalt, aluminum, tembaga, lithium dan lain-lain. Memang, tidak semuanya ada di Indonesia bahan bakunya. Ekosistem inilah yang saat ini sedang kita bangun di Indonesia. Semuanya sedang berproses dan tidak mudah.
"Hasilnya, saat ini kita sedang membangun lithium refinery di Morowali, yang bahan mentah lithiumnya diimpor dari Australia dan Afrika. Kita juga sedang membangun pabrik copper foil untuk bahan lithium baterai, lokasinya persis di depan smelter tembaga yang dibangun Freeport di Gresik. Kita juga sedang membangun pabrik Anoda di Morowali juga dengan kapasitas 80ribu ton, dimana pabriknya belum selesai tapi 100% produknya sudah dipesan semua. Mereka tidak perlu pusing mencari pembeli," terangnya.
"Antam juga saat ini sedang memfinalkan negosiasi dengan CATL dan LG Chemical, dua perusahaan baterai terbesar di dunia, untuk membangun ekosistem baterai lithium dari hulu sampai hilir. Tidak mudah untuk meyakinkan para investor tersebut, dan negosiasi bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun," lanjutnya.
Seto juga mengungkap, Indonesia akan memiliki pabrik baterai lithium (cell dan pack) pada tahun depan, saat pabrik baterai lithium yang dibangun LG dan Hyundai selesai konstruksi. Kapasitasnya sekitar 10GWh, cukup untuk membangun 120ribu mobil EV. Indonesia sudah melakukan mapping supply chain untuk baterai lithium dan mana saja target investasi yang akan diperoleh.