Indonesia sebagai negara dengan berbagai alternatif dan potensi sumber daya hingga mencapai 3.686 GW memiliki prospek pengembangan EBT yang sangat besar.
Cleantech startup Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dan membutuhkan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, impact investor, asosiasi dan think tank, rantai pasok hingga konsumen akhir agar ekosistem cleantech startup di Indonesia dapat bangkit dan semakin kuat.
Hasil riset New Energy Nexus Indonesia melaporkan pertumbuhan cleantech di Indonesia makin berkurang. Karena adanya hambatan apda iklim regulasi dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara untuk dapat mencapai target emisi nol bersih yang telah dicanangkan, kita perlu lebih banyak mengembangkan cleantech startup. International Energy Agency (IEA) dalam laporannya yang dirilis pada 2021 mengungkapkan bahwa negara-negara berkembang perlu meningkatkan investasi energi bersih tahunan hingga lebih dari tujuh kali lipat pada tahun 2030, jika ingin mencapai emisi nol bersih global pada 2050.
Laporan The Independent HighLevel Expert Group on Climate Finance pada 2022 memproyeksikan bahwa investasi infrastruktur berkelanjutan perlu ditingkatkan hingga dua kali lipat per tahunnya pada tahun 2030 dengan besaran US$ 1,2-1,7 Triliun.
Cluster President Schneider Electric Indonesia & Timor Leste Roberto Rossi menjelaskan tantangan yang dihadapi cleantech startup di Indonesia ini umum dialami di hampir seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang.
Faktor minimnya pendanaan akibat kurangnya minat investor dan regulasi atau kebijakan yang belum memadai, ditambah dengan masih minimnya SDM yang mumpuni di bidang EBT menjadi faktor fundamental dan saling terkait.
Menurut dia kebijakan atau regulasi suatu negara dalam mendukung terbentuknya ekosistem cleantech startup yang kuat menjadi variable utama yang mempengaruhi iklim investasi, dan cepat lambatnya laju perkembangan industri.
"Sebagai sektor yang masih baru, industri energi baru dan terbarukan masih membutuhkan biaya yang cukup besar (biaya R&D, pengadaan material produksi dan lainnya) dengan tingkat risiko yang juga tinggi, sehingga dibutuhkan kebijakan pembiayaan yang fleksibel dan didukung oleh lembaga negara," jelas dia dalam keterangannya, Selasa (22/8/2023).
Skema pendanaan dan subsidi dari pemerintah bagi pelaku cleantech startup dapat memberikan angin segar. Pendanaan pemerintah ini diprioritaskan bagi early-stage startup untuk riset pengembangan produk / solusinya dan membangun fondasi usahanya.
Untuk menarik minat investor swasta, pemberian insentif seperti insentif pajak, dan kemudahan pinjaman kredit pemerintah dapat menjadi daya tarik.
Para impact investor perlu memiliki pemahaman penuh untuk melihat keuntungan investasi dari sudut pandang triple bottom line, di mana kesuksesan tidak hanya diukur dari segi profitabilitas, tetapi juga seimbang dari segi dampaknya terhadap lingkungan dan manusia.
"Cleantech startup pun harus mampu meyakinkan investor akan peran yang mereka mainkan dalam menggerakkan jarum menuju titik emisi nol bersih maupun dalam menyediakan akses energi yang adil dan inklusif melalui solusi yang ditawarkannya, dan mengartikulasikannya secara efektif agar dapat dipahami," jelasnya.
Sebagai contoh, Schneider Electric Energy Access (SEEA) dan Schneier Electric Energy Access Asia (SEEAA) yang kami dirikan pada 2009 dan 2019 lalu merupakan model impact investing yang berpedoman pada sirkularitas dan ekonomi inklusif. SEEA menyatukan berbagai pemangku kepentingan dengan mengajak karyawan dan para mitra bisnis Schneider Electric untuk berinvestasi dan berkomitmen pada pengembangan akses energi bersih yang inovatif dan solusi efiensi energi yang membantu mengurangi kesenjangan energi di dunia.
(kil/kil)