Prabowo Subianto punya rencana besar untuk membuat Indonesia bebas dari impor BBM. Hal itu menjadi salah satu visinya sebagai Calon Presiden pada gelaran Pemilu 2024 untuk mewujudkan Indonesia yang bisa swasembada energi.
Namun, hal ini dinilai sangat mustahil untuk bisa diwujudkan, apalagi cuma dalam waktu 1 periode kepresidenan. Lalu, apa yang mesti dilakukan agar mimpi kedaulatan energi seperti yang disampaikan Prabowo bisa terjadi di Indonesia?
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan Indonesia harus serius untuk beralih dan bermigrasi ke energi hijau. Ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah baru yang akan menjabat usai Pemilu 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, Fahmy menegaskan harus ada komitmen yang kuat dari presiden terpilih untuk melakukan migrasi ke energi yang bersih. Komitmen ini harus diiringi dengan ketegasan kebijakan untuk menuju energi bersih.
Kedua, Fahmy mengatakan presiden berikutnya harus merumuskan peta jalan menuju energi bersih. Bukan cuma dokumen di atas kertas, Fahmy meminta peta jalan itu berisi rencana yang rinci untuk beralih ke energi bersih agar bisa diterapkan dengan mudah.
"Kedua perlu dirumuskan roadmapnya, tahapnya. Misalnya mau bikin gasoline dengan energi hijau apa yang harus dilakukan, sampai berapa lama, perlu kerja sama atau tidak dengan investor. Semua ini dirumuskan serinci mungkin dan harus bisa diterapkan," papar Fahmy ketika dihubungi detikcom, Selasa (28/11/2023).
Kemudian yang terakhir, dalam proses pengalihan energi yang panjang, Fahmy meminta adanya kesinambungan antara presiden di setiap periode. Pasalnya, perpindahan energi bersih bukan proses yang cepat, butuh 10 bahkan belasan tahun untuk mencapainya.
"Ketiga terapkan roadmap dengan konsisten. Jadi mungkin antar pemerintahan ini harusnya ada keberlanjutan. Siapapun presidennya perlu dilanjutkan, mungkin 10-15 tahun," tegas Fahmy.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memaparkan saran yang lebih strategis. Untuk mengurangi BBM, dia menyarankan untuk mengurangi sarana dan prasarana yang membutuhkan BBM.
Dengan begitu, kebutuhan BBM akan berkurang, ujungnya impor BBM juga berkurang. Hal itu dilakukan sambil perlahan berpindah ke energi hijau. Misalnya saja, mendorong transportasi publik dengan sumber energi bersih.
"Penggunaan masif bus listrik yang sumber listriknya dari energi terbarukan bisa jadi solusi," kata Bhima kepada detikcom.
Kemudian, bisa juga adanya ketegasan kebijakan untuk melakukan pembatasan produksi kendaraan pribadi berbasis BBM. Terutama untuk penjualan area perkotaan.
Bisa juga pemerintah berikutnya melaksanakan pengalihan insentif dan subsidi secara bertahap dari energi fosil ke energi terbarukan.
Bhima juga menyarankan untuk menyetop dan melarang semua pembangkit listrik berbasis BBM. Dengan begitu kebutuhan BBM bisa berkurang.
"Sebagian bbm terutama solar digunakan untuk pembangkit listrik maka solusinya adalah segera pensiun dini pembangkit yang masih gunakan BBM," pungkas Bhima.
(hal/rrd)