Jawab Isu Nikel Mau Habis, Bahlil: Itu Menyesatkan!

Jawab Isu Nikel Mau Habis, Bahlil: Itu Menyesatkan!

Aulia Damayanti - detikFinance
Rabu, 24 Jan 2024 18:30 WIB
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia (Foto: Ilyas Fadilah/detikcom)
Jakarta -

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjawab terkait isu cadangan nikel di Indonesia disebut mau habis. Ia menegaskan isu tersebut tidak benar dan menyesatkan.

Menurutnya, masih banyak daerah atau wilayah penghasil nikel yang belum dieksplorasi. Jika saat ini cadangan yang telah dieksplorasi hanya tinggal untuk 10-15 tahun lagi, tetapi masih banyak wilayah yang belum dieksplorasi.

"Yang sudah eksplorasi mungkin tinggal 10-15 tahun, tetapi kan ada area yang belum dieksplorasi. Area-area itu di Papua, itu masih banyak cadangan, di Maluku Utara, di Sulawesi belum dieksplorasi, masih banyak," ungkapnya, dalam konferensi pers kinerja investasi tahun 2023 di Gedung Kementerian Investasi/BKPM, Jakarta, Rabu (24/1/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, menurut Bahlil saat 100 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel telah dicabut pemerintah, jika dieksplorasi diyakini menghasilkan nikel miliaran ton.

"Jadi informasi (nikel) mau habis itu menyesatkan bagi saya," tegasnya.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, tidak bisa nikel dikatakan mau habis begitu saja. Hal itu harus dibuktikan setelah adanya eksplorasi. Bahlil juga menyentil pihak yang tak setuju dengan hilirisasi nikel, menurutnya jika hanya ekspor nikel mentah, tambang nikel tetap akan digali tetapi tak banyak meningkatkan nilai tambah bagi negara.

"Jadi kata orang kita ekspor aja, memang kalau ekspor nggak digali tuh tambang? Saya kan dulu pemain tambang juga. Jadi jangan berpikir yang menyesatkan. Saya mohon maaf, yang bilang nikel mau habis siapa ya? Karena tambang nikel itu, kita nggak bisa mengatakan cadangan itu mau habis atau tidak, kalau kita belum eksplorasi," jelas dia.

Bahlil juga mengungkapkan, saat ini Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk pertambangan nikel 80% merupakan milik pengusaha dalam negeri. Hanya memang untuk smelter didominasi oleh asing karena pembiayaan untuk smelter itu sangat mahal dan perbankan Indonesia belum mau membiayai industri tersebut.

"Kenapa asing? Karena memang perbankan kita belum mau membiayai industri ini, andai mereka mau biaya butuh equity 30%-40%. Membangun smelter nikel, satu tungku itu bisa US$ 200 juta sampai US$ 250 juta. Kalau 4 tungku, US$ 1.000 juta, berarti Rp 14 triliun. Kalau equity 40%, kurang lebih sekitar 40% dari 1.000 berarti hampir US$ 500 juta," jelas dia.

Meski demikian, pemerintah tetap mendorong agar proses hilirisasi berada di dalam negeri. Karena hal ini juga untuk meningkatkan nilai tambah bagi negara. Jadi, keuntungan tidak hanya serta merta untuk asing.

"Kenapa negara menghentikan itu? (ekspor nikel mentah) agar prosesnya terjadi. Kalau prosesnya terjadi kita dapat pajak, pajak kontraktornya, PPN-nya, Pph pasal 210-nya. Betul kita kasih Tax Holiday, tetapi kontraktornya kita tidak kasih, cuma hulunya," pungkas dia.

(ada/das)

Hide Ads