Harga minyak mentah berjangka menguat lebih dari 1% pada hari Kamis kemarin. Sebelumnya, harga minyak sempat melemah karena lonjakan persediaan minyak mentah Amerika Serikat (AS).
Dikutip dari Reuters, Jumat (16/2/2024), minyak mentah berjangka Brent ditutup naik US$ 1,26 atau 1,5%, menjadi US$ 82,86 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS naik US$ 1,39 atau 1,8%, menjadi US$ 78,03.
Harga minyak naik setelah data ritel AS mendorong aksi jual dolar sehingga dolar melemah. Di saat yang bersamaan, investor mengamati laporan Badan Energi Internasional (IEA) yang menandai melambatnya pertumbuhan permintaan tahun ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indeks dolar AS turun sekitar 0,3% setelah data menunjukkan penjualan ritel AS turun lebih dari perkiraan pada bulan Januari. Pelemahan dolar biasanya meningkatkan harga minyak karena membuat komoditas tersebut lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Biro Sensus Departemen Perdagangan mengatakan, penjualan ritel turun 0,8% bulan lalu. Data bulan Desember direvisi lebih rendah untuk menunjukkan penjualan naik 0,4%, bukan 0,6%, seperti yang dilaporkan sebelumnya. Data tersebut mendorong optimisme terhadap penurunan suku bunga Federal Reserve di masa depan, yang dapat berdampak positif bagi permintaan minyak.
"Penurunan suku bunga kembali dilakukan dan itu memberi kita sedikit dorongan," kata Analis di Price Futures Group, Phil Flynn.
Namun kenaikan harga minyak lebih lanjut dibatasi oleh laporan IEA pada hari Kamis yang mengatakan bahwa permintaan minyak global kehilangan momentum, sehingga mendorong badan tersebut untuk memangkas perkiraan pertumbuhan tahun 2024 menjadi 1,22 juta barel per hari (bph) dari 1,24 juta barel per hari.
Dari sisi pasokan, IEA memperkirakan pasokan akan tumbuh sebesar 1,7 juta barel per hari pada tahun ini, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 1,5 juta barel per hari.
Kedua kontrak acuan minyak tersebut kehilangan lebih dari US$ 1 per barel pada Rabu kemarin, tertekan oleh kenaikan persediaan minyak mentah AS karena penyulingan turun ke level terendah sejak Desember 2022.
Di samping itu, berita bahwa dua negara besar mulai mengalami resesi juga membebani harga. Inggris jatuh ke dalam resesi pada paruh kedua tahun 2023 ketika produk domestik bruto (PDB) berkontraksi sebesar 0,3% pada kuartal keempat, setelah menyusut sebesar 0,1% pada kuartal ketiga, data resmi menunjukkan.
Selain Inggris, Jepang secara tak terduga juga tergelincir ke dalam resesi pada akhir tahun lalu, menyerahkan gelarnya sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia kepada Jerman.
(shc/rrd)