Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyebut banyak pelaku usaha keberatan atas keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menaikkan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dari 5 persen menjadi 10 persen. Apalagi kebijakan itu diterapkan tanpa sosialisasi yang bagus.
"Kalau PBBKB kita usulkan, kita sampaikan menjadi banyak keberatan dari SPBU BU niaga, banyak yang keberatan, tahu-tahu dilakukan itu tanpa ada sosialisasi yang cukup bagus," katanya di gedung Lemigas, Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024).
Ia pun meminta agar sosialisasi terkait PBBKB itu dilakukan dengan benar. Selain itu, ia berpandangan angka 10 persen adalah angka maksimal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, seluruh daerah tidak perlu menerapkan angka yang sama. Dia menambahkan, jika memberatkan pengusaha, pajak itu akan membuat usaha tutup.
"Nah, itu yang mau kita sampaikan dan tidak perlu sama sebetulnya seluruh daerah. Kalau maksimal 10 persen, artinya tidak harus 10 persen. Artinya, harus ada pembicaraan bisnis yang baik. Karena, kalau memberatkan bagi pengusaha, jadi bisa nggak untung, bisa tutup," ungkapnya.
Tutuka tidak bisa memastikan apakah ketentuan mengenai pajak itu berlaku atau tidak. Namun, dia bilang, kebijakan itu bisa membuat pelaku usaha berhenti berbisnis.
"Itu semua peraturan daerah, kita tidak bisa motong, Kementerian ESDM tidak bisa bilang 'Nggak boleh berlaku', nggak bisa, tapi yang bisa kita lakukan, itu bisa menyebabkan BU niaga bisa tidak berbisnis. Jadi harus dibicarakan dengan baik," ungkapnya.
Sementara itu, kenaikan PBBKB dinilai tidak tepat untuk menaikkan pendapatan daerah. Peneliti di Alpha Research Database Ferdy Hasiman mengatakan kenaikan harga BBM nonsubsidi imbas dari kenaikan PBBKB di luar kewenangan badan usaha.
"Kalau soal pajak, itu bukan urusan badan usaha, itu kebijakan pemerintah," kata Ferdy.
Menurut Ferdy, kenaikan PBBKB akan berimbas pada kenaikan harga BBM. Meskipun nonsubsidi akan memberatkan masyarakat, tidak tepat dijadikan pilihan untuk meningkatkan pendapatan daerah.
"Kalau ingin meningkatkan pendapatan, jangan BBM yang jadi sasaran," tuturnya.
Ferdy pun menyebut kebijakan tersebut kontradiktif dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dia pun mengkhawatirkan adanya penurunan perekonomian atas penerapan kenaikan PBBKB dan pergeseran pengguna nonsubsidi ke BBM subsidi jika beda harga makin jauh.
"Masyarakat sudah kesulitan cari duit, nanti perekonomiannya seperti apa? Seharusnya kebijakan publik itu harus berpihak ke rakyat," jelasnya.
(acd/ara)