Timah merupakan salah satu komoditas andalan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), namun akibat pengusutan dugaan korupsi tata niaga timah yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) membuat banyak tambang timah berhenti melakukan aktivitas menambang.
Kondisi ini diperkirakan akan memukul perekonomian Provinsi Babel, salah satu indikasinya dapat dilihat dari anjoknya nilai ekspor Bangka Belitung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung nilai ekspor Bangka Belitung pada Januari 2024 hanya US$ 29,79 juta, turun 82,52 persen dibandingkan ekspor Desember 2023 mencapai sebesar US$ 210,28 juta.
Sedangkan, nilai ekspor Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Februari sebesar US$ 18,76 juta, turun 83,33 persen dibandingkan nilai ekspor Februari 2023 (y-on-y) dan turun 37,02 persen dibandingkan Januari 2024 (m-to-m). Selain itu, dikabarkan banyak perusahaan tambang timah terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena beberapa bulan terakhir tidak bisa produksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kinerja ekspor Provinsi Bangka Belitung dibagi dua, yaitu timah dan non timah. Pada tahun 2024 sejak Januari, ekspor timah berhenti, nilai ekpsor kita pada Januari cuma US$ 29,79 juta turun secara yoy," kata Kepala BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Toto Hariyanto Silitonga dalam rilis ekonomi di Pangkalpinang, Senin (1/4/2024).
Ketua Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Eka Mulya Putra membenarkan jika sejak Januari hingga Maret 2024, tidak ada ekspor timah sama sekali dari Bangka Belitung.
"Benar, sampai hari ini dari Januari-Maret ini belum ada sama sekali ekspor timah," ungkap Eka dihubungi.
Eka mengatakan, tidak adanya ekspor timah ini bakal memukul daya beli masyarakat, karena komoditas timah merupakan komoditas utama masyarakat di Bangka Belitung sudah berpuluh tahun lamanya.
"Bila tidak ada ekspor dan tidak ada perubahan kebijakan atau langkah-langkah cepat yang diambil pemerintah, hal ini bisa berdampak luas secara makro ekonomi, tidak hanya perusahaan atau pengusaha, tapi juga masyarakat luas di Babel," ungkapnya.
"Perputaran ekonomi di Bangka Belitung bisa sangat terganggu, daya beli masyarakat terus menurun di tengah situasi harga bahan pokok juga naik, tentunya ini berat sekali," tambahnya.
Selain itu, banyak perusahaan tambang timah belum kunjung beroperasi karena belum terbitnya Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.
"RKAB perusahaan tambang timah juga banyak yang belum disetujui, ini juga yang bikin perusahaan tidak bisa produksi," katanya.
Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Mineral Batu Bara, Bambang Suswanto menegaskan, belum disetujuinya RKAB tersebut karena perusahaan timah belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang telah ditetapkan.
"Pelaku usaha yang belum bisa melengkapi persyaratan yang sudah ditetapkan yang belum bisa disetujui RKAB-nya. Tapi sekarang sudah ada yang disetujui," kata Bambang dalam pesan singkatnya.
Dalam Rapat Dengat Pendapat (RDP) di Komisi VII DPR minggu lalu, Ditjen Minerba telah mengeluarkan persetujuan sebanyak 15 RKAB perusahaan tambang timah dengan perkiraan produksi mencapai 46 ribu ton bijih timah. Perkiraan produksi timah dari 15 RKAB tersebut setara dengan 60-65% kapasitas produksi timah tahun lalu yang mencapai 74 ribu ton bijih timah.
Terkait dengan banyaknya smelter yang tidak beroperasi, Kepala Disnaker Provinsi Bangka Belitung Elius Gani mengatakan ratusan karyawan smelter dirumahkan Kamis (28/3/2024).
Menurut Elius, kondisi pertimahan di Kepulauan Babel yang mengalami kemerosotan tidak hanya menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri sektor pertimahan. Tetapi berdampak kepada perekonomian masyarakat di provinsi penghasil bijih timah nomor dua terbesar dunia tersebut.
"Saat ini belum banyak kasus PHK di industri timah ini. Namun demikian jika operasional smelter ini tidak berjalan akan banyak pekerja dirumahkan," pungkasnya.
(rrd/rir)