Guru Besar UI Soroti Kerugian Lingkungan di Kasus Timah

Guru Besar UI Soroti Kerugian Lingkungan di Kasus Timah

Rista Rama Dhany - detikFinance
Selasa, 23 Apr 2024 07:50 WIB
Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang mampu memproduksi mineral timah dalam jumlah besar. Kemana Timah Indonesia larinya? 

Dalam pengoperasiannya, pemerintah menunjuk PT Timah (Tbk) untuk menambang mineral timah yang berada di Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Provinsi Riau.
Ilustrasi Timah/Foto: Rachman_punyaFOTO
Jakarta -

Kasus korupsi di lingkup tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 menjadi sorotan publik. Nilai kerugian dari kasus tersebut diprediksi mencapai Rp 271 triliun.

Angka ini muncul setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan serta menahan tersangka dalam perkara tersebut, Harvey Moeis, yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi.

Belakangan penetapan kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun sebagai dasar dugaan korupsi di sektor timah itu juga mendapat sorotan. Maklum, khalayak masih dibuat bertanya-tanya bagaimana kerugian lingkungan bisa dijadikan dasar penetapan kasus korupsi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penghitungan kerugian perekonomian negara berdasarkan kerugian lingkungan masih perlu diperdebatkan ulang," tutur Guru Besar Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri G Wibisana dikutip dalam paparannya, Selasa (23/4/2024).

Ia melanjutkan, di negara lain seperti AS atau negara anggota Uni Eropa, klaim negara atas kerugian lingkungan itu masuknya ke dalam ranah hukum administrasi negara atau perdata. Bukan ranah pidana, apalagi dikait-kaitkan dengan korupsi. Pemulihan sebagai klaim kerugian lingkungan, sambung dia, sejalan dengan asas tanggungjawab negara sebagaimana diatur dalam UUPPLH.

ADVERTISEMENT

Tapi ia mengingatkan, pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, tidak diartikan bahwa negara atau pemerintah adalah pemilik sumber daya alam. Sebaliknya, dengan asas tanggungjawab negara, hak menguasai negara dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 diartikan sebagai amanah publik yang diemban negara dengan tanggung jawab untuk melakukan pemulihan lingkungan tersebut.

"Dengan asas tanggung jawab negara, kerugian lingkungan dihitung untuk menentukan sejauh mana pemulihan dilakukan, bukan untuk memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP), apalagi untuk menentukan adanya kerugian perekonomian negara," jelas Andri.

Andri yang juga menjabat sebagai Ketua Center of Environmental Law and Climate Justice (CEICJ) itu khawatir, apabila kasus korupsi hanya mengandalkan perhitungan kerugian lingkungan sebagai bukti adanya kerugian perekonomian negara, maka batas-batas tindak pidana korupsi dan tindak pidana biasa akan menjadi kabur. Akibatnya, semua kasus pelanggaran hukum dapat saja berujung menjadi kasus korupsi.

"Yang menjadi persoalan itu bukanlah apakah kerugian lingkungan dapat dihitung atau tidak. Secara ilmu pengetahuan itu dapat dihitung, dan ada metode-metode ilmiah yang dikembangkan untuk menentukan kesahihan penghitungan. Namun yang menjadi persoalan adalah untuk apa dihitung, dan bagaimana menghitungnya. Dalam kedua persoalan ini lah kerugian lingkungan dalam praktik di Indonesia bermasalah," imbuh dia.

(rrd/rir)

Hide Ads