Potensi Bisnis CCUS
Memang, Indonesia atau bahkan Asia Tenggara terbilang baru untuk 'bermain' di bisnis CCUS jika dibandingkan dengan Eropa dan Amerika Serikat. Dimana dua kawasan tersebut sudah mengawalinya dengan beberapa proyek CCUS.
Sedangkan di Asia dan kawasan Asia Tenggara, potensinya disebut Yoki ada di Singapura. Dimana negeri Singa itu sudah ada carbon tax dan menunjuk Exxon dan Shell sebagai agregatornya. Selain itu potensi ke depan ada Korea Selatan yang membutuhkan tempat untuk menempatkan karbon mereka.
"Kalau bicara seberapa besar potensinya, besar sekali. Bicara Pertamina saja, partner-nya sudah memetakan storage up to 9 juta giga ton kalau tidak salah di Indonesia saja, dan ini ukurannya besar sekali," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Potensi ini pun dilihat PIS dapat berimbas positif ke bisnis mereka. Sebab proses ini tak ubahnya seperti komoditas lain yang perlu diangkut.
Proses konkretnya misalkan dari Singapura itu dari fasilitas agregasinya perlu diambil dengan menggunakan kapal yang dibangun khusus mengangkut CO2 dan akan dibawa ke lokasi untuk diinjeksi.
"Nah, dibawa ke lokasi injeksi ini tergantung, kalau misalnya dia onshore artinya butuh receiving facility dan mungkin setelah itu disalurkan bisa melalui truk tangki atau jalur pipa. Tetapi kalau off shore bisa melalui fasilitas injeksi, jadi kurang lebih modelnya tak ubahnya seperti angkutan energi pada umumnya," Yoki menjelaskan.
Jadi kalau misalkan untuk upstream migas prosesnya diambil, sedangkan untuk CCUS malah diinjeksikan ke lokasi penyimpanan yang sudah disiapkan. Jadi potensinya menggiurkan untuk Indonesia, apalagi kita punya basin yang sangat besar.
"Saat ini kita belum bisa bicara angka, justru ini adalah tantangannya, di mana keekonomian dari CCUS ini harus kita upayakan seefektif mungkin karena kalau biayanya terlalu tinggi maka upaya-upaya untuk dekarbonisasi tidak akan berjalan dengan efektif," pungkas Yoki.
(ash/ara)