Gelombang PHK Terpa Karyawan Smelter Timah di Babel

Gelombang PHK Terpa Karyawan Smelter Timah di Babel

Rista Rama Dhany - detikFinance
Minggu, 28 Apr 2024 11:31 WIB
Kejagung Sita Ekskavator, Buldoser hingga 4 Smelter di Kasus Korupsi Timah
Foto: dok. Kejagung
Jakarta -

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sedang menghantam karyawan di pabrik smelter timah di Bangka Belitung (Babel), pasalnya sebanyak 5 smelter disita Kejaksaan Agung (Kejagung) buntut dari kasus korupsi tata niaga timah.

Ketua Departemen Hukum Acara Universitas Indonesia (UI), Junaedi Saibih menilai perlu ada langkah strategis yang tidak menimbulkan polemik serta kerugian bagi masyarakat banyak, termasuk kerugian ekonomi akibat tidak berjalannya smelter.

"Ketika alat produksi atau tempat buat produksi disita, berarti kan dia enggak bisa gerak produksinya, kalau dia enggak bisa gerak produksi, terus dia punya manfaat enggak? Terus Kejaksaan bisa mengelola dan merawat itu nggak? Karena yang namanya orang menyita itu nggak cuma disita, tapi setelah itu dirawat biar nggak rusak. Itu kan ada biaya yang harus juga dikeluarkan oleh Kejaksaan. Jadi untuk melakukan penyitaan itu eggak cuma sikapnya keras aja diambil, tapi harus dipikirkan bagaimana pengelolaan dan pemeliharaannya," katanya di Jakarta, Minggu (28/4/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, dibanding melakukan penyitaan smelter yang berdampak pada masyarakat luas, aparat penegak hukum disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan langkah hukum. Pasalnya, penyitaan smelter yang sudah dilakukan telah berdampak pada kehidupan bermasyarakat Bangka Belitung.

"Makanya saya selalu tidak pernah setuju penyitaan terhadap alat produksi, tapi sedapat mungkin alat produksi itu kalau dia bekerja, dia tetap bergerak, pabrik dia bergerak semua. Jangan disita kalau akhirnya nggak ada pergerakan, kalau nggak ada pergerakan maka nggak ada hasil produksi, berarti orang enggak kerja, dengan begitu maka akan terjadi pengangguran terbuka, yang kemarin ratusan PHK (Pemutusan hubungan kerja) jumlahnya bisa bertambah lagi," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan informasi yang diterimanya, rata-rata smelter melakukan PHK antara 500 hingga 600 orang pekerja. Jika dijumlahkan 5 smelter maka jumlahnya mencapai ribuan pekerja. Angka tersebut belum termasuk dengan penambang rakyat yang terganggu pekerjaannya, jumlahnya bisa mencapai 10.000 orang lebih.

Selain dampak terhadap PHK pekerja, perlu ada langkah taktis dalam menyikapi kerugian ekologis yang disebut-sebut mencapai Rp 271 triliun. Junaedi menilai aktivitas tambang pasti akan menyebabkan kerusakan lingkungan, namun ada keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat maupun pendapatan pemerintah. Karenanya perlu langkah lanjutan dalam meminimalisir kerugian, misalnya dengan perjanjian reklamasi.

"Yang harus dilakukan kalau menurut saya harusnya adalah melakukan NPA, non- Prosecution agreement. Jadi bagaimana perusahaan-smelter yang sudah melakukan aktivitas pertambangan tadi dibuat satu agreement, dihitung kerugian dari aktivitasnya dan bersama-sama bikin skema perbaikan reklamasi. Nah itu jauh lebih efektif daripada harus mengambil langkah yang keras untuk pemidanaan atau penuntutan. Itu salah satu cara dalam metode restoratif justice yang bisa diambil," kata Junaedi.

Sementara itu Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Bangka Belitung, Elly Rebuin menilai langkah Kejaksaan Agung dalam proses hukum perlu cepat sehingga tidak mengganggu perekonomian masyarakat. Pasalnya, saat ini banyak masyarakat yang kesulitan untuk bekerja karena mata pencahariannya terganggu, baik sebagai penambang rakyat maupun pekerja smelter.

"Masyarakat ini kan perlu makan, kalau tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, maka pendapatannya hilang dan yang dikhawatirkan kriminalitas meningkat. Saya sendiri sudah melihat hal itu sudah terjadi, sudah mulai nampak pencurian dan lain sebagainya demi kebutuhan agar bisa makan. Jadi tolong apapun proses hukumnya dipercepat karena masyarakat butuh makan," kata Elly kepada wartawan, Sabtu (27/4/2024).

Ketika masyarakat butuh bekerja demi mendapatkan uang, Kejaksaan Agung baru-baru ini menyita smelter yang menjadi pemurnian hasil tambang masyarakat. Alhasil masyarakat makin kesulitan untuk menyerahkan hasil tambangnya. Meski rencananya bakal dikelola Kementerian BUMN atau PT Timah, namun Elly mempertanyakan kemampuan PT Timah dalam proses pembelian.

"Konsep ini pernah terjadi di 2006, cuma pertanyaannya kalau PT Timah yang melakukan itu, mampu ngga PT Timah secara finansial langsung membayar cash ketika masyarakat menyerahkan? Karena selama ini PT Timah membeli dari rakyat ngga bisa cash n carry, jadi mitranya yang beli, paling cepat cair setelah dua minggu. Sedangkan rakyat taunya ngga ada utang mengutang karena pendapatannya harian. Jadi kenapa bisa lahirnya smelter? karena rakyat ngga mau tau, ketika menyerahkan hasil tambangnya harus dibayar cash," kata Elly.

(rrd/rir)

Hide Ads