Indonesia tengah mengembangkan program tangkap dan simpan karbon atau Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization and Storage (CCS/CCUS). Program itu dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim akibat karbon dioksia (CO2) yang menyebabkan pemanasan global.
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center, Belladonna Troxylon Maulianda mengungkapkan Indonesia sendiri disebut lebih maju dari segi aturan untuk program CCS sendiri.
"Jadi, aku itu baru balik dari Amerika, ini itu aku diundang sama pemerintah Amerika, bersama 8 negara lainnya. Jadi ada Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, Brasil, India, Sri Lanka. Nah jadi developing countries yang melakukan CCS. Pada intinya Indonesia paling maju dari segi peraturan," kata dia saat berbincang dengan detikcom di sela-sela IPA Convention & Exhibition di ICE BSD, Tangerang, Rabu (15/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita sudah ada peraturan presiden, sudah ada peraturan menteri, sudah ada standar nasional SNI, kita sudah bisa cek. Jadi kita paling maju," lanjutnya.
Saat ini Indonesia telah melakukan kerja sama dengan Singapura dalam mengembangkan teknologi CCS. Indonesia sendiri dinilai memiliki tempat penyimpanan besar di dalam tanah untuk menyimpan CO2. Potensi kerja sama dengan negara lain juga lagi dijajaki.
"Jadi Singapura punya CO2-nya, nah kita punya tempat penyimpanan yang di bawah. Dan kita paling besar di Asia, tempat penyimpanannya gitu," terangnya.
Namun, bukan berarti Indonesia tidak mempunyai saingan dalam pengembangan teknologi CCS itu sendiri. Belladonna mengatakan Indonesia bersaing dari segi penyimpanan CO2 dengan Malaysia, Timor Leste, sama Australia.
"Malaysia tuh karena Petronas ya, jadi Petronas tuh sangat agresif gitu ya. Jadi kalo dulu kan minyak sama gas diaturin sama Petronas sekarang tuh mereka nunjuk kementerian, namanya kementerian ekonomi karena mereka udah nganggap CCS sih sebagai bisnis gitu. Nah Timor-Leste juga kita bersaing," pungkasnya.
(ada/rrd)