Indonesia mempunyai peluang besar untuk mengembangkan teknologi penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS). Selain untuk transisi energi, ada satu alasan lain program itu perlu dilakukan. CCS bisa membuat Indonesia hemat US$ 1 triliun atau Rp 15.973 triliun (kurs Rp 15.973) buat biaya energi.
"Sekitar US$ 1 triliun biaya energi sampai 2050 bisa dikurangi jika CCS diadopsi. Kalau teknologi ini dihindari, akan ada biaya besar yang harus dibayar (Indonesia)," tulis Global CCS Institute dalam laporan berjudul 'Indonesia Petroleum Association Infographic Booklet', dikutip Senin (20/5/2024).
Global CCS Institue kemudian merinci, total US$ 1 triliun biaya tersebut mencakup tiga aspek dalam sistem energi Indonesia dalam kurun 2023 sampai 2050. Pertama adalah transportasi untuk sektor energi yang menelan biaya US$ 271,6 miliar atau Rp 4.338 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian kedua, adalah ongkos industri, dengan total biaya US$ 543,8 miliar atau Rp 8.686 triliun. Dan ketiga adalah biaya gedung dengan total angka US$ 176,2 miliar atau Rp 2.814 triliun.
Lembaga tersebut kemudian menjelaskan bahwa potensi penyimpanan karbon di Indonesia sangat besar. Sebab, ada sejumlah negara sekitar yang sedang membutuhkan tempat penyimpanan karbon. Di antaranya Korea Selatan (0,5 gigaton per annum/GTPA) dan Jepang (0,7 GTPA).
Sementera di kawasan Asia Pasifik (APAC), potensi pasar penyimpanan Co2 juga tergolong meningkat setiap tahun. Mulai dari 550 metrik ton karbon dioksida (MtCO2) pada 2040, 590 MtCo2 pada 2045, hingga 2.000 MtCo2 pada 2050.
"Untuk diam dan menjadi penonton bukan pilihan. Negara-negara tetangga sudah mengembangkan kesepakatan (CCS) hub lintas batas," pungkas Global CCS Institute.
(rrd/rir)