Program Tangkap Karbon Berisiko buat RI? Begini Penjelasannya

Program Tangkap Karbon Berisiko buat RI? Begini Penjelasannya

Samuel Gading - detikFinance
Selasa, 21 Mei 2024 10:24 WIB
Foto udara kawasan hutan lindung Jayagiri di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (16/62023). Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat, Indonesia menjadi negara kedelapan yang memiliki hutan terluas di dunia dengan luas mencapai 92 juta ha yang diharapkan mampu menyerap emisi karbon dari persoalan iklim secara global. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.
Foto: Antara Foto/Raisan Al Farisi
Jakarta -

Penyimpanan karbon alias carbon capture and storage (CCS) akhir-akhir ini ramai dibahas. Selain bisa mempercepat upaya Indonesia untuk mencapai target Net Zero Emission, CCS juga berpotensi memberi dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Namun, apa risiko dari penerapan teknologi itu?

Global CCS Institute dalam laporan berjudul 'Indonesia Petroleum Association Infographic Booklet', menjelaskan bahwa CCS adalah teknologi yang aman dan rendah risiko. Sebab, teknologi itu sudah teruji dan telah digunakan selama 50 tahun terakhir.

"Sebanyak 300 metrik ton karbon dioksida sudah aman di simpan di bawah tanah. Hasil studi di Inggris menunjukan kurang dari 1% peluang kebocoran Co2 ke atmosfer. Keterangan ini diperoleh dari model dan operasi yang dikembangkan selama 25 tahun terakhir di sejumlah ladang minyak yang habis dan saline quifier storage dengan kapasitas 125 metrik ton karbon dioksida (MtCo2)," tulis Global CCS Institute, dikutip Selasa (21/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Global CCS Institute kemudian menjelaskan bahwa teknologi CCS sudah dikembangkan sejak 1920. Kala itu Co2 di cadangan gas alam dipisahkan dari gas metana yang dapat dijual.

Pada tahun 1970-an, Terrel Natural Gas Processing Plant di Amerika Serikat kemudian menangkap Co2 dan menginjeksikan hal tersebut ke ladang minyak untuk meningkat pemulihan minyak. Sejak 1996, fasilitas ladang minyak di Sleipner dan Snøhvit yang terletak di Norwegia pun telah menyimpan lebih dari 26 MtCo2

ADVERTISEMENT

"Pada 2024, sebanyak 521 fasilitas komersial (CCS) sedang dalam pengembangan konstruksi. Sebanyak 43 fasilitas CCS pun sudah beroperasi, dengan kapasitas 50,39 juta ton per tahun (metric ton per annum/MTPA)," lanjut Global CCS Institute.

Lembaga itu kemudian menjelaskan, bahwa pengawasan dilakukan sepanjang fasilitas CCS beroperasi. Dari masa pra-injeksi, operasi, hingga pasca-injeksi. Sejumlah area yang dimonitor adalah permukaan tanah/dasar laut, air tanah dan geologi di sekitarnya, hingga pembentuk penyimpanan dan segelnya (overlying seal).

Dalam kondisi terburuk jika terjadi kebocoran Co2, karbon dioksida yang ditangkap pun dapat melebur ke laut atau menguap ke atmosfer. Co2 bersifat tidak eksplosif maupun mudah terbakar.

"Zat itu juga tidak berbahaya bagi manusia dalam konsentrasi rendah. Kita menghirup dan mengeluarkan Co2, setiap makanan dan minuman kita juga mengandung Co2. Contohnya, menurut riset Science Direct, 1 liter minuman bersoda memiliki kandungan 6-8 gram Co2," pungkas Global CCS Institute.

Simak Video: Singapura Hingga Korsel Tertarik Investasi Simpan Karbon Indonesia

[Gambas:Video 20detik]



(rrd/rir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads