Indonesia memiliki potensi panas bumi yang besar. Namun, pengembangan panas bumi bisa dikatakan belum maksimal karena sejumlah hal.
Dalam catatan ReforMiner seperti dikutip Kamis (13/6/2024) panas bumi memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan jenis energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya. Keunggulan tersebut meliputi tidak bergantungan pada cuaca, produksi energi yang lebih besar untuk periode yang sama, tingkat kapasitas yang lebih tinggi, prioritas untuk kepentingan domestik,tidak terpengaruh oleh kenaikan harga energi fosil, hingga biaya operasi pembangkitan yang relatif lebih murah.
"Dalam kelompok EBT, faktor kapasitas listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai yang terbaik yaitu antara 90-95 %. PLTP tercatat sebagai satu-satunya pembangkit EBT yang dapat beroperasi sebagai beban dasar (base load) dalam sistem kelistrikan," tulis ReforMiner.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021-2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW. Sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLTS masing/masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW.
Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET. ReforMiner menilai, relatif belum dijadikannya sumber energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya.
Berdasarkan kajian terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, di antaranya risiko kegagalan eksplorasi, risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi, hambatan regulasi dan tata kelola (PJBL, TKDN, perizinan, kepemilikan aset, ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang), kebutuhan modal awal yang cukup besar, durasi pengembangan relatif lama, dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.
"Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih cukup relatif mahal," lanjutnya.
Dijelaskan, permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama dengan permasalahan yang dihadapi di Indonesia. Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan.
"Di antara negara yang tercatat telah berhasil adalah Amerika Serikat, Kenya, Iceland, New Zealand, dan Meksiko," tulis ReforMiner.
Menurut ReforMiner, ketersediaan sumber daya yang besar dan sejumlah potensi manfaat yang akan diperoleh, memformulasikan dan mengimplementasikan terobosan kebijakan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi perlu dilakukan oleh para stakeholder pengambil kebijakan. Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Iceland, dan Philipina yang telah terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut kiranya dapat dijadikan sebagai lesson learned untuk pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia.
Lihat juga Video: Harta Karun di Bawah Kampung Perikanan Budidaya