Polusi Udara Jakarta Memburuk, Transisi Energi Harus Dipercepat

Polusi Udara Jakarta Memburuk, Transisi Energi Harus Dipercepat

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Minggu, 23 Jun 2024 17:58 WIB
Eddy Soeparno (Foto: Zhacky/detikcom)
Foto: Eddy Soeparno (Foto: Zhacky/detikcom)
Jakarta -

Indeks kualitas udara Jakarta berdasarkan data resmi IQAir berada di angka 168 atau tidak sehat. Polutan utamanya ialah PM 2,5. Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan cuaca terburuk ke 3 di dunia setelah Beijing (China) dan Kinshasa (Kongo).

Menanggapi hal tersebut Wakil Ketua Komisi Energi di DPR Eddy Soeparno menegaskan, kualitas udara di sejumlah kota di Indonesia sudah sangat memprihatinkan sehingga proses transisi energi mendesak harus segera dilaksanakan.

"Kualitas udara di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Tangerang Selatan dan lain-lain sudah masuk kategori membahayakan kesehatan. Kalau tidak ada tindakan serius maka dampak buruknya akan semakin meluas. Buat saya tidak ada pilihan lain kita harus kebut program transisi energi," tegasnya dalam keterangan tertulis, Minggu (23/6/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, memburuknya kualitas udara di Jakarta dan kota-kota besar lain sudah pada tahap harus diselesaikan dengan pendekatan manajemen krisis dan bukan lagi pendekatan business as usual semata.

"Pendekatan terhadap masalah ini tidak bisa lagi business as usual tetapi harus dengan crisis management supaya semua pemangku kepentingan memberikan prioritas agar sumber energi fosil yang saat ini mendominasi bisa digantikan dengan sumber energi dari geothermal, hidrogen, matahari, angin, biomassa atau minimal gas alam," jelas Sekjen PAN tersebut.

ADVERTISEMENT

Pria yang pernah menjabat Direktur Investment Banking Group Asia Pacific, Merrill Lynch ini menjelaskan, selama hampir 5 tahun menjabat pimpinan di Komisi Energi DPR RI, ia selalu mendesak agar percepatan transisi energi tidak hanya berupa lip service tetapi perlu direalisasikan secepatnya.

"Potensi sumber energi terbarukan Indonesia melimpah dan pendanaan dalam dan luar negeri pun tidak sulit untuk diakses. Tinggal kita bersepakat untuk mencapai solusi kolektif atas sejumlah permasalahan klasik yang selama ini menghambat proses transisi energi," tegasnya.

Eddy mengakui saat ini Indonesia menghadapi sejumlah kendala di depan mata seperti surplus listrik di sejumlah daerah, tarif yang lebih mahal, kebutuhan investasi yang tinggi dan permasalahan jaringan & transmisi.

"Namun saya tegaskan bahwa permasalahan ini bukan tidak ada jalan keluarnya, apalagi sejumlah opsi untuk menyelesaikan masalah-masalah ini telah dibahas oleh pihak pemerintah, pelaku usaha maupun kami di Komisi VII DPR RI. Tinggal dilaksanakan dan harus dilaksanakan segera," lanjut politisi dengan pengalaman berkarir selama 20 tahun di sejumlah lembaga perbankan internasional.

Faktanya, lanjut Eddy, tahun 2023 investasi sektor energi terbarukan relatif rendah. Hal ini tentu tidak boleh terulang di tahun 2024 apalagi menjadi tren di tahun-tahun mendatang.

"Saya pribadi menilai bahwa para pengambil kebijakan perlu duduk bersama untuk merumuskan solusi dan capaian jangka pendek, sekaligus merancang platform teknis, finansial dan operasional untuk dijadikan panduan dalam mereduksi energi fosil dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan," tutupnya.

(fdl/fdl)

Hide Ads