PT PLN (Persero) mengungkap untuk membangun infrastruktur transisi energi di Indonesia membutuhkan dana mencapai hampir Rp 4.000 triliun. Direktur Manajemen Risiko Perubahan PLN, Suroso Isnandar menyebut ada berbagai infrastruktur yang harus dibangun dengan kapasitas besar.
Apalagi, saat ini kebutuhan listrik di Indonesia semakin besar dengan sumber utamanya dari batu bara. Di sisi lain, PLN sudah tidak boleh membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, jadi harus ada pengganti dengan kapasitas besar.
"How much, the cost of energy transition di sektor ketenagalistrikan? Untuk sampai dengan 2040 kita perlu US$ 235 miliar, kira kira Rp 4.000 triliun, tapi itu yang kita butuhkan," kata dia dalam acara Economic Outlook 2025 di Hotel Raffles, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dihitung dengan kurs hari ini, anggaran US$ 235 miliar setara dengan Rp 3.727 triliun (kurs Rp 15.862).
Secara rinci, dana itu dibutuhkan untuk membangun energi baru terbarukan (EBT) yang menggantikan PLTU batu bara 33 gigawatt (GW) sebesar US$ 80 miliar. Kemudian diperlukan infrastruktur 22 GW Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) senilai US$ 33 miliar.
"Kemudian untuk variable renewable energy untuk solar dan angin perlu US$ 43 miliar, dan seterusnya," jelasnya.
Lebih rinci dalam paparannya, juga butuhkan infrastruktur Battery Energy Storage System (BESS) 32 GWh US$ 6 miliar, nuklir 5 GW US$ 29 miliar, transmission lines & substation 70.000 kms US$ 36 miliar, dan end to end smart grid US$ 7 miliar.
Selain itu, dibutuhkan juga transisi dari Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) menuju transisi energi.
"Tadi yang Pak Menko sampaikan suksesnya transisi energi Indonesia menuju net zero emission salah satunya critical prosesnya yang kita bangun, seperti Sutet, itu tantangan besar. Bangun Sutet itu tidak mudah, secara teknikal mudah, tetapi ada sosial, perizinan dan sebagainya," pungkasnya.
Simak Video: Just Energy Transition