Peningkatan sumber daya cadangan mineral melalui kegiatan eksplorasi merupakan aspek krusial dalam menjamin keberlanjutan industri pertambangan di Indonesia. Kendati demikian, sayangnya tata kelola izin hingga sistem lelang kegiatan eksplorasi dinilai masih belum menarik sehingga diperlukan perbaikan dari segi peraturan oleh Pemerintah.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Desember 2024 tercatat 4.430 izin usaha pertambangan mineral dan batu bara yang masih berlaku. Dari jumlah tersebut, hanya 14 izin eksplorasi untuk mineral dan 11 izin eksplorasi untuk batu bara yang masih aktif.
Kesenjangan ini tentunya menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan cadangan mineral di masa depan. Terlebih, isu ini terjadi di saat pemerintah sedang gencar melakukan hilirisasi dan industrialisasi, yang seharusnya membutuhkan cadangan mineral krusial mulai dari nikel, bauksit, timah, dan pasir besi dalam jumlah yang lebih besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Staf Khusus Menteri ESDM Irwandy Arif menyampaikan untuk meningkatkan eksplorasi tambang, salah satu yang perlu dilakukan adalah perbaikan regulasi dan perizinan. Kendati penerapan sistem perizinan satu atap telah berjalan, pemerintah masih perlu menyusun regulasi agar lebih jelas dan menarik bagi pelaku usaha pertambangan berpengalaman.
"Kemudian juga menyederhanakan prosedur yang harus ditempuh oleh para pelaku usaha di sektor eksplorasi. Ini yang harus dilakukan. Itu antara lain yang kita lihat secara umum," kata Irwandy kepada detikFinance belum lama ini.
Setali tiga uang, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Rizal Kasli, berpendapat bahwa kurangnya kegiatan eksplorasi ini berpotensi mengancam ketahanan cadangan mineral Indonesia. Sebagai contoh, cadangan nikel diperkirakan hanya mampu bertahan 9 hingga 15 tahun ke depan.
Menurutnya, pemerintah perlu mengaktifkan kebijakan eksplorasi di bidang komoditas mineral maupun batu bara dengan kegiatan lelang yang masif. Bahkan, dia berharap kebijakan lelang ini direview ulang agar aturannya lebih menarik dan meningkatkan minat investasi.
"Luas wilayah yang dilelang sebaiknya lebih besar dan ada perbaikan dalam kompensasi data dan informasi (KDI. Nah ini juga harus dikaji ulang supaya KDI kita ini bisa bersaing secara global sehingga akan banyak masuk investor-investor asing," paparnya.
Untuk memastikan eksplorasi yang berkelanjutan, Rizal menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan pengamat. Regulasi yang dibuat harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk asosiasi, akademisi, dan masyarakat, agar tidak terjadi hambatan di kemudian hari.
"Stakeholder ini kan bisa perusahaan, perguruan tinggi, pengamat, kemudian asosiasi, kemudian juga masyarakat, pemerintah daerah. Sehingga regulasi yang dihasilkan nanti tidak ada hal-hal yang nanti menghambat atau tumpang tindih," pungkasnya.
(akn/ega)