IPA CONVEX 2025

Kebutuhan Terhadap Energi Fosil Masih Tinggi di Tengah Kehadiran EBT

Amanda Christabel - detikFinance
Selasa, 25 Feb 2025 21:50 WIB
Ilustrasi BBM, energi fosil.Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Sekitar 87% dari kebutuhan energi di Indonesia berasal dari energi fosil. Sementara sisanya adalah dari sektor energi baru dan terbarukan (EBT)

Merespons hal ini pengamat energi dari Reforminer Komaidi Notonegoro mengatakan energi fosil masih relevan dengan kebutuhan saat ini.

"Kemarin ada contoh kecil sedikit saja, yaitu ketika LPG 3 kilogram mau diatur. Hanya menggeser pengecer tidak boleh jualan, dinaikkan ke pangkalan, itu impact-nya sudah luar biasa di masyarakat kita. Nanti kalau ada impact yang luar biasa lagi di sektor yang lain pengaturannya, saya kira dampak ke fiskal, moneter, maupun ke ekonomi secara keseluruhan itu jauh lebih kompleks," ucapnya saat media training bersama Indonesian Petroleum Association (IPA), Jakarta, Selasa (25/2/2025).

Lebih lanjut Komaidi menjelaskan, dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sebanyak 54% konsumsi energi di Tanah Air berasal dari konsumsi rumah tangga. Maka, Komaidi bilang, jika konsumsi rumah tangga terganggu, maka pertumbuhan ekonomi juga otomatis akan terganggu.

"Konsumsi rumah tangga sangat sensitif dengan inflasi. Kalau BBM naik, LPG naik, otomatis inflasi akan naik. Kalau inflasi naik, konsumsi rumah tangga itu pasti akan turun. Jadi, kalau ini terganggu, maka 2045 kita targetkan Indonesia Emas itu semakin jauh. Dengan kondisi yang sekarang kita mau growing 8%, itu saya kira luar biasa lompatan yang diperlukan," beber Komaidi.

Kondisi menurunnya cadangan energi fosil yang seringkali tidak tersampaikan secara utuh. Konsumsi terus merangkak naik, juga didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang juga terus meningkat dan punya target setinggi langit.

"Tetapi hari ini, karena sektornya banyaknya ada di industri pengolahan dan perdagangan besar, kalau tidak ada energi, sektor ini tidak bisa running. Kalau kita mau mencapai pertumbuhan ekonomi 8% di 2045, maka energinya ini harus ditambah. Setiap economic growth 1%, itu membutuhkan daya dukung energi paling tidak 1,5%, jadi 1,5 kalinya," jelasnya.

"Energi kita 80% masih dari fosil. Nah, kalau kita melupakan fosilnya kemudian ingin kemandirian energi, ketahanan energi, 'puzzle'-nya tidak ketemu. Kalau kita bicara EBT yang masih 13,09% dari 100%, untuk support pertumbuhan 8%. Sementara setiap menaikkan 1% itu membutuhkan energi 1,5 kalinya, itu tidak akan ketemu," sambung Komaidi.

Komaidi menambahkan, dalam EBT itu terdapat dua masalah yang masih membelenggu. Yaitu masalah teknis, dan masalah ekonomi. Komaidi menjelaskan, sebagian masalah teknis yaitu terkait dengan ketergantungan dengan cuaca.

"Misalkan kita bicara PLTS (pembangkit listrik tenaga surya), itu memproduksikan listrik dari jam 10 pagi sampai jam 2 siang kalau musim kemarau. Kalau penghujan atau lokasinya di Bogor, misalnya, biasanya banyak hujan. Maka produksinya tidak bisa maksimal. Kalau kita bicara air, itu antara musim penghujan dengan musim kemarau, produksinya juga berbeda," ungkapnya.

Beralih ke masalah ekonomi dari EBT, hampir sebagian besar EBT membutuhkan nominal yang lebih banyak ketimbang energi fosil untuk kondisi saat ini. "Hampir semua bisnis ketika di tahap awal, cost-nya masih dibebankan di awal. Otomatis, ketika ke harga barang yang dijual, itu pembobotannya masih lebih besar sehingga tarifnya juga akan lebih besar," pungkasnya.




(hns/hns)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork