Indonesia menargetkan bisa menjadi negara produsen listrik panas bumi terbesar dunia. Asosiasi Panas bumi Indonesia (API) juga menyampaikan hal senada bahwa Indonesia menargetkan menjadi negara dengan kapasitas panas bumi terbesar dunia pada 2030 mendatang.
Target tersebut lalu ditanggapi oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro. Menurutnya, meskipun telah berhasil memproduksikan listrik panas bumi sejak 42 tahun yang lalu melalui PLTP Kamojang Unit 1, pengembangan industri panas bumi di Indonesia berjalan relatif lambat.
"Kapasitas terpasang listrik panas bumi Indonesia hingga saat ini dilaporkan baru sekitar 11 % dari total potensi panas bumi yang dimiliki," tulis Komaidi dalam catatan berjudul Kunci Keberhasilan Pengembangan dan Pengesahan Industri Panas Bumi di Sejumlah Negara, Jumat (19/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, untuk menjawab dan merealisasikan optimisme pengembangan dan pengusahaan panas bumi, Indonesia perlu belajar dan mengadopsi kebijakan dari negara lain yang berhasil mengembangkan industri panas bumi.
Menurut Komaidi, ketersediaan ekosistem industri, komitmen dan dukungan dari para stakeholder pengambil kebijakan merupakan kunci utama atas keberhasilan pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi di sejumlah negara.
Ia menambahkan, negara yang tercatat memiliki rasio kapasitas-potensi dan pertumbuhan kapasitas PLTP yang relatif tinggi pada umumnya memiliki regulasi atau payung hukum yang diperlukan untuk mendukung pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi pada negaranya masing-masing.
Sampai akhir tahun 2024, Filipina tercatat menjadi negara dengan rasio kapasitas terpasang listrik panas bumi (PLTP) terbesar di dunia yaitu sekitar 48,07% dari total potensi panas bumi yang dimiliki negara tersebut.
"Selain dukungan fiskal dan insentif investasi, faktor pendorong utama keberhasilan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Filipina adalah kebijakan perusahaan transmisi listrik nasional (TRANSCO) yang memberikan koneksi dan distribusi penuh terhadap proses jual-beli listrik panas bumi," jelas dia.
Kebijakan insentif pengembangan panas bumi yang diberikan oleh Filipina diantaranya mengurangi porsi bagian pemerintah dari pendapatan kegiatan usaha panas bumi. Kemudian, memberikan insentif fiskal melalui pengurangan pajak dan tax holiday, accelerated depreciation, dan bebas bea impor.
Filipina juga menerapkan kebijakan net operating loss-carry over pada industri panas bumi, mempercepat depresiasi dan penghapusan pajak pertambahan nilai untuk penjualan dan pembelian listrik panas bumi, hingga mempermudah ketersediaan data untuk pengembangan panas bumi swasta.
Ia lalu mencontohkan Meksiko yang merupakan negara dengan rasio kapasitas PLTP terbesar kedua yaitu 40,01% dari total potensi panas bumi negara tersebut. Salah satu kunci keberhasilan Meksiko mengembangkan panas bumi adalah melalui reformasi kebijakan energi.
Setelah sebelumnya tertutup, negara tersebut membuka dan memberikan izin kepada perusahaan swasta dan asing untuk berpartisipasi sebagai pengembang dan produsen listrik independen.
Lalu Turki yang menjadi negara dengan peningkatan kapasitas PLTP terbesar di dunia. Kapasitas PLTP Turki meningkat sekitar 328%, dari 405 MW pada 2014 menjadi 1.734 MW pada 2024. Peningkatan tersebut merupakan hasil dari implementasi UU EBET di Turki yang memberikan sejumlah keistimewaan untuk industri panas bumi.
Diantaranya menerapkan kebijakan feed-in tariff dengan jaminan pembelian 10 tahun, memberikan bonus untuk komponen perangkat keras yang dibuat di Turki, hingga memberikan jaminan dan kompensasi kepada investor yang mengalami kerugian akibat kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah Turki.
Belajar dari keberhasilan pengembangan dan pengusahaan panas bumi dari sejumlah negara, Komaidi menyebut, Pemerintah Indonesia perlu melakukan intervensi kebijakan agar terdapat peningkatan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi nasional.
Pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia hampir dapat dipastikan akan berjalan relatif lambat jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business.
Komaidi menilai ada beberapa aspek yang perlu dimasukkan dalam melakukan intervensi kebijakan untuk industri panas bumi nasional yang diantaranya:
1. Melakukan pengelolaan risiko eksplorasi dan mempercepat commercial operation date (COD)
2. Perlu untuk menyusun skema tarif yang kompetitif dengan dukungan pembiayaan yang tepat
3. Memperkuat kolaborasi stakeholder industri panas bumi terutama dengan PLN yang berperan sebagai offtaker tunggal
4. Mengembangkan teknologi baru untuk mempercepat proyek panas bumi; dan
5. meningkatkan TKDN melalui industrialisasi manufaktur pembangkit di dalam negeri
Tonton juga video "Jokowi Heran PLTP Tak Jalan Cepat Meski RI Punya 40% Energi Panas Bumi Dunia" di sini:
(ily/rrd)