Profil Halim Kalla yang Tersandung Kasus Korupsi PLTU Kalbar

Profil Halim Kalla yang Tersandung Kasus Korupsi PLTU Kalbar

Andi Hidayat - detikFinance
Senin, 06 Okt 2025 20:17 WIB
Bareskrim Polri resmi menetapkan Halim Kalla dan Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PLN periode 2008–2009, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Polri mengumumkan sekaligus menetapkan Halim Kalla-Fahmi Mochtar Tersangka Korupsi PLTU Kalbar.Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Kortas Tipikor Bareskrim Polri menetapkan Halim Kalla (HK) sebagai salah satu tersangka dalam dugaan kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan Barat (Kalbar). Kasus ini ditaksir merugikan negara hingga Rp 1,3 triliun.

Lantas, siapakah Halim Kalla yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut?

Berdasarkan catatan detikcom, Halim Kalla adalah adik dari Wakil Presiden (Wapres) ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. Saat ditetapkan sebagai tersangka, Halim Kalla menjabat sebagai Presiden Direktur PT Bumi Rama Nusantara (BRN).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian berdasarkan lama resmi Haka Group, Halim Kalla juga tercatat menjabat sebagai pemilik, pendiri, sekaligus Chief Executive Officer (CEO) dari perusahaan bernama Haka Group. Perusahaan konglomerasi ini menjadi induk usaha BRN.

Halim Kalla tercatat mendirikan perusahaan BRN pada tahun 1983. Dalam website tersebut, BRN diklaim tumbuh dan berganti nama menjadi PT Bakti Reka Nusa. Perusahaan ini juga berada di bawah konglomerasi Haka Group milik Halim Kalla.

ADVERTISEMENT

Untuk diketahui, Halim Kalla menjadi tersangka dari proyek PLTU yang mangkrak sejak awal pembangunan tahun 2008. Kondisi ini diduga karena adanya pengaturan kontrak proyek.

Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Juli 2025, kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp 1,3 triliun. Disebutkan telah terjadi penyimpangan yang berindikasi tindak pidana yang dilakukan pihak-pihak terkait yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.

"Artinya ada permufakatan di dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan, setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan sehingga ini terjadi keterlambatan yang mengakibatkan sampai dengan tahun 2018 itu sejak tahun 2008 sampai 2018 itu diadendum," ujar Cahyono dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, dikutip dari detikNews, Senin (6/10/2025).

(hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads