Indonesia dinilai mulai mengambil langkah yang maju untuk menggunakan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM). Pengembangan ini dapat menekan emisi karbon dari sektor transportasi, karena BBM campuran etanol lebih ramah lingkungan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sendiri yang sebelumnya menyatakan Indonesia akan melakukan mandatori etanol 10% atau E10. Pengembangannya persis seperti yang dilakukan pada bahan bakar solar yang dicampur olahan minyak kelapa sawit menjadi biodiesel.
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yus Widjajanto mengapresiasi langkah Bahlil. Dengan campuran etanol, masyarakat bisa mendapatkan BBM dengan oktan tinggi fan juga ramah lingkungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Etanol ini selain mengurangi COβ, juga menaikkan angka oktan. Jadi kita bisa pakai bahan bakar RON rendah lalu ditambah etanol hingga menjadi RON tinggi," ujar Tri dalam keterangannya, Kamis (9/10/2025).
Tri menjelaskan, kendaraan modern di Indonesia sudah kompatibel dengan E10 bahkan E20, seiring penerapan regulasi emisi Euro 4. Dia menambahkan, kekhawatiran bahwa etanol dapat merusak mesin tidak berdasar.
"Pengaruhnya terhadap tenaga mesin cuma sekitar 1%, tidak terasa, dan kendaraan tidak rusak," tegas Tri.
BBM Etanol Tren Dunia
Program semacam ini juga sudah dilakukan di berbagai negara, salah satunya Amerika Serikat (AS). Dikutip dari Energy Information Administration (EIA), Amerika Serikat telah lama menggunakan campuran etanol dalam bensin dengan tiga varian utama, yakni E10 (etanol 10%), E15 (etanol 15%), dan E85 (etanol 85%).
E10 yang mengandung 10% etanol, kini menjadi standar nasional karena terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca tanpa mengorbankan performa mesin secara signifikan.
Di sisi lain, Uni Eropa pun tengah mengkaji penerapan bensin E20 atau campuran 20% etanol yang dinilai mampu menurunkan emisi karbon hingga 6% dibandingkan E10.
Seperti dikutip dari EU Research & Innovation, kebijakan ini masih dalam tahap uji karena memerlukan kesiapan teknologi kendaraan dan pasokan bioetanol yang memadai.
Kemudian ada juga India yang bisa menjadi contoh negara berkembang dengan kebijakan yang agresif dalam mendorong program bahan bakar rendah emisi nasional. Pemerintah India menargetkan pencampuran etanol 20% pada tahun 2025 untuk menekan impor minyak mentah dan memberikan nilai tambah bagi petani tebu serta industri biomassa.
Lembaga energi internasional juga mencatat tren serupa. Laporan International Energy Agency (IEA) yang berjudul "Renewables 2023" menyebut, permintaan biofuel meningkat pesat di negara berkembang seperti Brasil, Indonesia, dan India. IEA memperkirakan konsumsi etanol global akan terus tumbuh seiring upaya dekarbonisasi transportasi yang kian masif.
Secara global, penerapan kebijakan biofuel kini menjadi arus utama di lebih dari 70 negara. Seperti dikutip dari ResourceWise, Amerika Serikat dan Uni Eropa menjadi pelopor dalam kebijakan wajib pencampuran etanol, sementara kawasan Asia Selatan dan Amerika Latin mulai mempercepat implementasinya. Tren ini menunjukkan bahwa etanol kini menjadi bagian penting dari masa depan energi bersih dunia.
Etanol sendiri merupakan hasil fermentasi bahan nabati seperti tebu, jagung, atau singkong. Di banyak negara, senyawa ini sudah menjadi komponen wajib dalam bensin karena terbukti membantu peningkatan oktan dan penurunan emisi.
Dengan demikian, langkah Indonesia untuk mengadopsi kebijakan serupa bukan hanya aman secara teknis, tetapi juga selaras dengan arah transisi energi bersih yang sedang ditempuh komunitas global.
Simak juga Video Pakar Energi ITB: Penambahan Etanol pada Bensin Kurangi Emisi CO2