Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital OJK, Sukarela Batunanggar menerangkan, banjirnya fintech ilegal asal China tak lepas dari longgarnya pengaturan dari pemerintah China, sehingga, secara alami fintech mengalami pertumbuhan yang sangat cepat.
"Kalau kita lihat perkembangan fintech peer to peer sangat cepat. Selama ini regulator di China cenderung lebih fleksibel, lebih open, memberi keleluasaan untuk pertumbuhan. Itu satu secara kebijakan, pilihan kebijakan," katanya dalam Media Gathering OJK di Bandung, Jumat (3/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Implikasinya longgarnya aturan itu pertumbuhannya sangat cepat, di sana tidak ada review secara mendalam. Sehingga, artinya ada bisnis model yang layak, oke, bisa survive sustain, tentunya banyak juga bisnis model yang sebenarnya belum siap. Saya kira implikasi yang alamiah," paparnya.
Namun, dia menuturkan, kini pemerintah China telah mengatur secara ketat fintech. Sehingga, fintech tak layak disetop operasinya.
"Nah, makanya sekarang pemerintah China menaruh concern memperketat aturannya, dengan menutup platform yang tidak layak operasi," ujarnya.
Dia melanjutkan, OJK sendiri sebenarnya sudah mewaspadai sejak awal dengan membuat sejumlah regulasi. Selain itu, OJK juga melibatkan asosiasi profesi untuk menangani banjirnya fintech abal-abal.
"Jadi kita syukur punya POJK 77 dari awal kita buat regulasi koridor, kedua di OJK ada tim yang menangani perizinan dan pengawasan terhadap peer to peer. Ketiga ada asosiasi yang tidak sekadar sebagai forum koordinasi tapi mereka bertanggung jawab merumuskan standar-standar, kode etik, asosiasi juga menerbitkan namanya ethic lending dan POJK 13 mengamanatkan kepada asosiasi untuk melakukan pengawasan anggotanya yang tidak sesuai yang melanggar etika. Antisipasinya itu," paparnya. (ara/ara)