Ketiganya bahkan memiliki pandangan yang berseberangan yang mengedepankan kepentingan masing-masing institusi.
"Akhir-akhir ini OJK terus memberikan peringatan mengenai bahaya investasi aset kripto dikarenakan nilai yang fluktuatif, tidak memiliki underlying asset dan tidak dalam pengawasan OJK. Banyak kalangan berpandangan ini merupakan sebuah blunder, karena aset kripto memiliki analisa fundamental investasi yang berbeda dengan saham," tegasnya.
Ditambah lagi, lanjut Deni, penggunaan teknologi blockchain yang terdisentralisasi, memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Dan, otoritas penuh berada di tangan komunitas dan pemilik aset kripto, yang memang ditujukan untuk menghilangkan middleman pengawasan yang sering memiliki trust issue.
Berbeda dengan OJK, lanjutnya, Bappebti menyatakan akan segera meluncurkan bursa kripto Digital Future Exchange bersama dengan perusahaan exchange yang dibawahinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak menutup kemungkinan pendirian bursa merupakan dorongan tekanan dari para anggota exchange. Dan tanpa koordinasi dengan lembaga pengawasan keuangan lain.
"Terutama terkait dengan kebijakan know your customer & due diligence , bursa kripto dapat meningkatkan resiko kejahatan keuangan seperti pencucian uang, penggelapan dana dan fraud," ungkap Deni.
Sementara BI, lanjut Deni, menyatakan tidak buru-buru menerbitkan mata uang digital yang disebut dengan Central Bank Digital Currency (CBDC), yang menggunakan teknologi yang mirip/sama dengan aset kripto. Padahal transaksi digital melalui e-wallet dan platform e-commerce meningkat drastis terutama di masa pandemi saat ini.
"Jika tidak segera melakukan pengkajian yang lebih serius lagi, dan menerapkan kebijakan konkrit terkait industri aset kripto, digital currency dan pengaplikasiannya, BI dapat kehilangan kendali atas kebijakan moneter, untuk mengawasi inflasi dan stabilitas keuangan," ungkap Deni.
Lanjut ke halaman berikutnya
Simak Video "Bareskrim Polri Tahan CEO EDCCash Terkait Investasi Bodong"
[Gambas:Video 20detik]