Bunga Pinjol Dinilai Terlalu Tinggi, Pengamat: Fintech Bukan Rentenir

Bunga Pinjol Dinilai Terlalu Tinggi, Pengamat: Fintech Bukan Rentenir

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 03 Nov 2023 12:41 WIB
Ilustrasi Pinjol
Foto: Shutterstock
Jakarta -

Besaran bunga perusahaan FIntech P2P Lending alias pinjaman online (pinjol) tengah menjadi sorotan beberapa waktu belakangan. Sejumlah pihak menilai bunga 0,4% per hari atau 12% per bulan terlalu besar.

Pengamat Teknologi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai, besaran bunga tersebut terbilang masih cukup besar jika dihitung per bulan, apalagi pertahun. Oleh karena itu, menurutnya akan lebih baik jika ada regulasi baru yang mengatur besarannya.

"Memang harus ada aturan bahwa bunganya ini tidak mencekik leher. Karena fintech ini bukan rentenir ya, bukan pula yang akan menyulitkan pengguna, tetapi sebetulnya tujuannya untuk mempermudah pengguna fintech ini salah satunya, bantuannya juga harusnya bunga tidak mencekik leher," katanya, kepada detikcom, Jumat (3/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut Heru pun membandingkannya dengan suku bunga bank. Katakanlah suku bunga acuan Bank Indonesia di 6% per tahun, maka bila masyarakat meminjam dari bank bunganya sekitar 12% per tahun. Mengacu dari angka tersebut, menurutnya bunga pinjol maksimal 3 kali dari suku bunga acuan BI. Kalau melebihi itu, akan memberatkan masyarakat.

"Jadi kita harapkan ya mungkin juga fintech maksimal, ya mungkin 2-3 kali, maksimal 3 kali tapi kalau bisa 2 kali dari suku bunga acuan BI. Jadi bergerak antara 12-16% per tahun, bukan per bulan tapi per tahun. kan Ini juga sudah cukup besar dari bunga 12-16% per tahun," ujar Heru.

ADVERTISEMENT

Senada, Direktur Ekonomi Digital dan Ekonom CELIOS, Nailul Huda menilai, baik lender maupun borrower alias peminjam harus diberikan biaya yang seimbang. Dalam hal ini, Biaya untuk borrower adalah bunga pinjaman dan biaya untuk lender adalah risiko dan opportunity cost dari pemberian pinjaman ke borrower.

"Saya rasa dengan profil risiko dan opportunity cost serta bunga pinjaman bank sekarang, bunga tahunan yang ideal adalah 2 hingga 3 kali suku bunga acuan BI. Kenapa? Karena opportunity cost dari investasi di tempat lain bisa dilihat dari suku bunga bank Indonesia," kata Huda, dihubungi terpisah.

Lebih lanjut Huda menjelaskan,dalam bisnis fintech P2P Lending ada dua jenis konsumen. Pertama konsumen borrower, dan lainnya konsumen lender. Menurutnya, platform pinjol lah yang bertugas untuk menyeimbangkan biaya bunga pinjaman dan biaya untuk lender tersebut.

"Makanya penentuan suku bunga dan risiko dari peminjam sangat penting," tuturnya.

Sebagai tambahan informasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera menerbitkan aturan baru untuk mengatur batas bunga jasa layanan pinjol. Adapun Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) sendiri menetapkan besaran bunga pinjol maksimal 0,4% untuk seluruh anggotanya. Angka ini sempat diturunkan dari yang semula 0,8%.

Direktur Pengembangan IKNB dan Inovasi Keuangan Digital Edi Setijawan mengatakan, aturannya diprediksikan akan terbit di tahun ini. "Iya ini kita sedang menyiapkan aturan mengenai batasan lainnya," kata Edi, ditemui di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Kamis (12/10/2023).

Menurutnya, penetapan besaran bunga pinjol idealnya diserahkan kepada pasar antara permintaan maupun penawaran. Namun karena kondisi yang masih belum ideal, maka otoritas regulator bisa melakukan intervensi untuk memastikan bahwa ada keadilan baik untuk si borrower maupun si lender ataupun si platform.

Langkah ini diambil menyusul kasus kartel bunga pinjaman online (pinjol) yang tengah didalami Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam tahap penyelidikan ini, KPPU telah menetapkan 44 penyelanggara P2P Lending alias pinjol sebagai terlapor.

(shc/rrd)

Hide Ads