Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memandang bahwa bunga pinjaman daring (pindar) atau pinjol untuk sektor konsumtif sebesar 0,3% merupakan persentase yang paling ideal. Apabila turun di bawah itu, ada kemungkinan jumlah penyalurannya ikut menurun.
Berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE OJK) Nomor 19/SEOJK.05/2023, ditetapkan bahwa pinjaman konsumtif untuk tenor kurang dari 6 bulan berada di angka 0,3% per hari. Sedangkan untuk tenor lebih dari 6 bulan ditetapkan sebesar 0,2% per hari. Bisa jadi di tahun depan angkanya kembali disesuaikan.
Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar mengatakan, penyesuaian suku bunga pinjol sepenuhnya merupakan kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Angka ini turun cukup signifikan dibandingkan dengan awal AFPI berdiri yakni sebesar 0,8% per hari.
Secara bertahap, suku bunga pinjol telah beberapa kali mengalami penurunan. Setelah sebelumnya ditetapkan sebesar 0,8% per hari sebagai acuan awal, bunga pinjol telah turun menjadi 0,4% per hari pada tahun 2023. Lalu angkanya kembali turun menjadi 0,3% di 2024, dan mengalami penyesuaian kembali di tahun ini.
"Nah saat ini 0,3% (per hari) itu kita rasakan sudah pas. Sudah benar," kata Entjik dalam Diskusi Publik di Kantor Celios, Jakarta, Senin (11/8/2025).
Menurutnya, persentase 0,3% per hari merupakan titik keseimbangan yang pas antara kebutuhan lender, borrower, serta penyelenggara. Ketiga pihak tersebut memperoleh keuntungan serta manfaat yang pas.
Hal ini juga terlihat dari angka disbursement atau penyalurannya yang justru mengalami peningkatan, meski bunga pinjol berangsur mengalami penurunan. Namun apabila angka ini diturunkan lagi pada tahun depan ke posisi 0,2% per hari, bisa jadi keseimbangan itu terganggu.
"0,3% ini kita rasakan cukup karena resiko juga masih bisa ter-cover. Kalau diturunkan bagaimana pak ke 0,2%? Maka saya yakin 1.000% disburse pasti turun. Kenapa? Pasti penyelenggaraannya mikir-mikir untuk memberi pinjaman kepada masyarakat yang berisiko," jelasnya.
Secara keseluruhan, per Juni 2025 ini pokok pembiayaan atau outstanding pinjaman dari pindar mencapai Rp 83,52 triliun. Angka ini masih cukup jauh tertinggal dari outstanding pinjol ilegal yang diproyeksikan mencapai Rp 260 triliun.
Entjik mengatakan, angka ini sudah menurun dibandingkan dengan masa lampau. Kondisi naiknya angka penyaluran pindar juga didukung dengan peralihan dari sejumlah konsumen pinjol ilegal ke pindar.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Hudamenilai, besaran bunga pinjol untuk tahun depan perlu disesuaikan dengan kondisi yang akan datang. Menurutnya, angka yang ideal sekarang belum tentu tepat di tahun depan.
Hal ini mengingat besaran bunga merupakan hal yang sensitif bagi berbagai pihak. Selain dari pinjaman itu sendiri, Nailul melihat bahwa bunga fintech P2P Lending juga mesti dipertimbangkan dari sisi investor, baik dari lokal maupun asing.
"Lender itu pasti akan mempertimbangkan investasi lainnya untuk menjadi tempat dia berinvestasi atau portfolio mereka investasi. Jadi memang sangat kritis sekali. Kalau boleh saya katakan 0,3% itu sudah ideal, tapi belum tentu tahun depan seperti apa," ujar Nailul.
"Karena tahun depan bisa jadi untuk suku bunga Bank Indonesia itu naik tinggi sekali, sehingga orang akan lebih cenderung untuk menanamkan investasinya di SBN ataupun di deposito dan sebagainya. Di sini sangat-sangat kritis sekali untuk bisa menyeimbangkan antara keinginan dari lender dan juga keinginan dari borrower," sambungnya.
Apabila tidak ada pendanaan, lanjut Nailul, maka likuiditas platform pinjol akan berkurang, hingga dapat menyebabkan penyaluran kepada peminjam juga turun. Kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk rentenir masuk menawarkan opsi pinjamannya.
(acd/acd)