Konglomerat asal Amerika Serikat (AS), Ray Dalio, disebut memicu kecemasan terhadap investor kripto. Kecemasan itu bermula dari sebuah wawancara Ray Dalio yang menyebut Bitcoin (BTC) tidak akan menjadi mata uang cadangan karena mudah diretas oleh komputasi kuantum.
Hal ini kemudian memicu kepanikan investor yang melakukan aksi jual besar-besaran mencapai US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 21,72 triliun (kurs Rp 16.710). Alhasil, harga BTC anjlok pada perdagangan hari ini, Jumat (21/11).
Berdasarkan data perdagangan CoinMarketCap, harga BTC berada di level US$ 85.970,36 atau sekitar Rp 1,43 miliar, melemah sekitar 11,72% pada perdagangan sepekan terakhir. Angka tersebut turut merosot dari hari sebelumya, Kamis (20/11), di mana BTC berada di level US$ 87.000 atau sekitar Rp 1,45 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan analisis Tokorypto, penurunan tajam harga BTC memicu gelombang likuidasi lebih dari US$ 220 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun untuk posisi long. Selain itu, kondisi ini mendorong volatilitas pasar yang telah meningkat dalam beberapa hari terakhir.
Namun begitu, sejumlah analis pasar menilai kekhawatiran Ray Dalio terlalu berlebihan dan dianggap mengesampingkan kriptografi Bitcoin yang berbasis SHA-256. Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menilai narasi quantum panic Ray Dalio bersifat psikologis daripada teknis.
"Risiko komputasi kuantum terhadap Bitcoin masih berada pada level teoretis dan belum mendesak. Justru, jika benar-benar ada terobosan yang mampu mendekripsi Bitcoin, maka sistem perbankan global yang menggunakan RSA akan jauh lebih rentan. Jadi, kepanikan ini lebih dipicu persepsi, bukan realita teknologinya," ujar Fyqieh dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/11/2025).
Selain itu, tekanan terhadap BTC juga muncul kala Owen Gunden menjual seluruh kepemilikan asetnya sebanyak 11.000 coin. Aksi ini dianggap sebagai kapitulasi besar yang menambah suplai di pasar, memperkuat tekanan jual, dan membuat harga BTC menjauh dari level US$ 90.000.
Meski begitu, aksi jual bersih ini tidak cukup menjadi indikator arah pasar BTC. Menurut Fyqieh, masih banyak investor jangka panjang mengambil keputusan berdasarkan portofolio individual, bukan kondisi fundamental Bitcoin.
Ia tak menampik adanya panic selling dan ketidakpastian pasar menyebabkan lebih dari 222.000 pedagang terlikuidasi dalam 24 jam terakhir. Data Coinglass menunjukkan likuidasi long mencapai lebih dari US$ 264 juta hanya dalam satu jam di awal sesi AS.
"Namun benar bahwa suplai tambahan dalam kondisi pasar rapuh dapat mempercepat koreksi," jelasnya.
Bitcoin Loyo
Berdasarkan laporan CryptoQuant, BTC memasuki fase paling bearish dalam siklus bull 2023-2025. Indeks Bull Score bahkan turun ke level 20/100 dengan harga BTC kini berada di bawah MA 365 hari. Meski begitu, Fyqieh menilai hal tersebut merupakan kondisi wajar.
"Penurunan hingga 25-30% adalah hal yang wajar dalam market bullish. Bahkan dalam bearish sekalipun, Bitcoin sering membentuk rebound kuat. Level teknikal seperti area US$ 84.000 hingga US$ 90.000 menjadi penting untuk memantau potensi pembalikan," jelasnya.
Mengutip dari Data Santiment, mayoritas trader ritel BTC mulai memprediksi harga akan turun ke bawah US$ 70.000 atau sekitar Rp 1,17 miliar. Menurutnya, kondisi ini biasanya menandai pergerakan pasar yang berlawanan. Indeks Fear and Greed juga turun ke level ekstrem 15/100, kondisi yang secara historis sering diikuti pemulihan signifikan dalam beberapa bulan berikutnya.
Kondisi panic selling, kekhawatiran komputasi kuantum, aksi jual whale, dan dinamika ETF menciptakan badai volatilitas yang belum mereda. Fyqieh menilai, harga BTC akan ditentukan oleh dukungan institusional mampu menstabilkan harga atau pasar masih akan mencari titik dasar baru.
Pasalnya, ETF Bitcoin di AS masih mencatat arus masuk sebesar US$ 75 juta dan mengakhiri tren arus keluar selama lima hari berturut-turut. BlackRock IBIT menjadi pendorong utama arus masuk tersebut.
"Volatilitas seperti ini adalah bagian dari karakter Bitcoin. Investor jangka panjang tidak fokus pada gejolak harian, tetapi pada struktur jangka panjang yang masih solid. Yang penting adalah manajemen risiko, bukan mengejar harga," pungkasnya.
Simak juga Video 'Harga Bitcoin Sentuh Rp 1,8 M, Apa Penyebabnya?':











































