"Yang pasti daya beli merosot, omzet juga pasti turun. Yang belanja biasanya Rp 100.000 dapat barang sekian, ini sekarang nggak dapat. Omzet turun lebih kurang 10-15%," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta kepada detikFinance, Kamis (27/5/2015).
Tutum mengatakan, penurunan omzet dan penjualan ini terjadi di sektor barang bukan makanan (non food) seperti pakaian, barang elektronik dan barang pelengkap.
"Kalau makanan nggak begitu signifikan karena pasti dibeli," jelasnya.
Ia menilai, turunnya daya beli masyarakat disebabkan beberapa faktor. Tutum menyebut, kebijakan pemerintah soal kenaikan harga BBM, listrik, gas dan bunga kredit yang tinggi berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Yang awalnya mau belanja sekian, uangnya disiihkan untuk cicilan kredit yang tinggi, jadi dia belanja diturunkan. Dia prioritaskan kredit dulu. Lalu faktor eksternal. Dolar menguat, barang jadi mahal. Di sisi lain, masyarakat gaji tetap, membeli barang otomatis tidak tercover," paparnya.
Bahkan diakuinya, ada beberapa toko kecil yang terpaksa tutup yang salah satunya disebabkan kondisi perekonomian ini. Sayangnya Tutum belum mendapat laporan pasti berapa jumlahnya.
"Ini terjadi di nasional. Ada juga karena lokasinya yang jelek dia tutup dan buka di tempat lain," jelasnya.
Kondisi ini menurut Tutum terjadi sejak awal tahun 2015 hingga saat ini. Dia mengaku sedikit pesimistis kondisi akan membaik dalam waktu dekat.
"Kita wait and see saja lah. Seharusnya 6 bulan (pemerintahan) ini sudah baik, ini sudah 7 bulan. Pertama optimistis dengan pemerintahan baru, jika terjadi begini jadi pesimistis. Jadi kita wait and see saja," katanya.
(Zulfi Suhendra/Angga Aliya)