Hal ini diutarakan Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Wiryawan, di Pacific Place, SCBD Jakarta, Rabu (27/7/2011).
Ia menjelaskan, selama ini produksi baja dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan industri domestik. Dari 9 juta ton permintaan, industri dalam negeri hanya mampu memasuk 6,5 juta ton. "Artinya terdapat gap 3-4 juta ton per tahun," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Putu, sesuai arahan Menteri Perindustrian, Indonesia tidak perlu menggenjot produksi baja hanya demi memenuhi permintaan dalam negeri. Di tengah pasar besar, impor bisa dilakukan selama harga yang ditawarkan bersaing.
"Dalam kondisi pasar bebas, tidak perlu 100% dipenuhi. tapi kalau strategic industry harus. Misal infrastruktur, perkapalan, maritim dan perlabuhan (impor) jangan banyak-banyak, 20-25%. Karena kalau impor, menyebabkan industri impor jadi rapuh," imbuh Putu.
Putu mengaku, pemerintah tetap menjanjikan suplai energi yang cukup demi berlangsungnya industri baja. "Untuk meningkat, harus ada energi suplai yang pasti. Karena ini (baja) merupakan padat modal dan risiko tinggi dengan investasi di atas 15 tahun," tegasnya.
Pemerintah pun mengaku telah melakukan percepatan industri baja melalui program nasional MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Dalam koridor 4 Kalimantan Selatan (Kalsel), terdapat proyek Sponge Iron (hulu) milik PT Meratus Jaya Iron & Steel, anak usaha hasil Joint Venture PT Aneka Tambang (Persero) dan PT Krakatau Steel (Persero).
Nilai proyek Meratus mencapai Rp 1 triliun yang akan menghasilkan Sponge Irone 310 ribu ton. "Juga ada China Nickel Resources dengan investasi US$ 220 juta. Kemudian PT Delta Prima dan PT Semeru Prima, yang memproduksi Sponge Irone dengan investasi US$ 60 juta," pungkasnya.
(wep/hen)