“Kalau suaranya datar, berarti ada retakan setipis rambut di porselein,” kata Shannon lagi, sambil tertawa. Rekan Shannon kemudian memasukkan busa ke dalam kloset itu, lalu memencet alat penyiram.
Dalam beberapa jenis pekerjaan di pabrik toilet, tenaga manusia belum bisa digantikan mesin. Ini berbeda dengan tren yang sedang terjadi dalam industri manufaktur di Amerika Serikat. Banyak perusahaan yang telah mengoptimalisasi penggunaan mesin atau robot ketimbang manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya di perusahaan toilet, lebih banyak dibutuhkan tenaga manual. Soalnya pembuatan kloset itu seperti seperti pembuatan keramik. Tenaga manusia dipakai untuk mengangkat kloset dan produk toilet lainnya atau sentuhan tangan untuk merasakan permukaan sudah mulus atau belum.
“Anda membutuhkan kekuatan seorang pemain football dan tangan seorang pemahat,” kata Morando, Presiden di Mansfield, sambil memperhatikan sejumlah pekerja dengan kaus yang memperlihatkan otot-ototnya, sedang memanggang porselein siang itu.
Supaya ongkos produksi bisa ditekan, Mansfield bukannya mengurangi tenaga manusia di bagian produksi, melainkan mengotomatisasi proses administasi, misalnya pengambilan order dan mengurangi penyimpanan stok.
Sebaliknya, tenaga kerja di bagian produksi justru ditambah. Mansfield telah mempekerjakan 480 orang di Perrysville, lebih banyak dari 370 orang pada empat tahun lalu. Diperkirakan angkanya akan bertambah sampai 550 orang dalam enam bulan.
Langkah agak berbeda dilakukan Toto Inc, di Georgia. Robot baru Motoman dari Yaskawa Electric Corp., Jepang, kini dipakai untuk menyemprotkan glasir pada toilet, sesuatu yang dulu dikerjakan oleh manusia di kebanyakan pabrik. Motoman baru ini dua kali lebih cepat ketimbang robot yang sebelumnya dipakai oleh Toto.
Sedangkan proses lainnya tetap dilakukan manusia. Tanah liat yang dipakai untuk membuat perlengkapan toilet memang sangat rapuh dalam proses produksi dan bisa rusak oleh mesin. Manusia pun tak perlu diprogram ulang saban ada perubahan gaya.
Tanah liat dipasok ke pabrik dalam bentuk tepung. Sebuah alat raksasa mengaduk tepung itu menjadi adonan yang pekat lalu via pipa dialirkan ke cetakan. Setelah terbentuk, para pekerja menghaluskan permukaannya dengan busa.
“Tangan manusia lebih sensitif dan bagus ketimbang robot pada tugas-tugas semacam itu,” kata William Strang, yang memimpin divisi operasi Toto di Amerika.
Pekerja kemudian menyatukan pinggiran kloset ke mangkuknya dengan tangan. Sebuah mesin memegang keduanya dan membaliknya, supaya pekerja memeriksa bagian bawah.
Sebuah sabuk pengantar mengirimkan kloset ke ruang pengering, untuk mengeluarkan cairan yang kemungkinan terdapat dalam lapisannya. Setelah kering, robot-robot menyemprotkan glasir supaya permukaannya lebih keras dan mengkilap.
Toilet itu lalu dipanggang lagi selama 18 jam di sebuah alat pembakaran dengan temperatur 1.800 derajat Fahrenheit. Berikutnya adalah perakitan akhir dan pengujian. Di tahap akhir inilah Shannon melakukan keahliannya, memukul dan mendengarkan bunyi kloset.
(DES/DES)