Chairman Business Indonesia Singapore Association Stefanus T Wijaya mengatakan, di Singapura saja UKM terkendala masalah bahasa yang digunakan. UKM yang kebanyakan hanya mengerti bahasa Indonesia sulit untuk berinteraksi dengan negeri Singapura yang dominan berbahasa Inggris atau Mandarin. Itu pun berlaku pada merek produk yang tercantum.
"Pertama itu kendala bahasa. Contoh Sidomuncul jualan Tolak Angin, waktu di Singapura itu nggak laku karena Tolak Angin bahasa Melayu," kata Stefanus dalam acara Press Conference Indonesia-Singapura Business Forum 2014, di Gedung Galaktika, Jalan RM Harsono, Jakarta, Selasa (18/2/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang paling mendasar adalah kesiapan UKM kita mendapat klien dari luar negeri," tambahnya.
Meski demikian, tidak sedikit UKM yang produknya cukup maju dikembangkan di Singapura. Dari data BISA, setidaknya ada 5.000 UKM asal Indonesia yang produknya masuk ke Singapura, mencakup yang membuka toko atau hanya menjadi pemasok saja.
Produk yang ditawarkan pun bermacam-macam. Pakaian, makanan, kerajinan cukup laku di masyarakat negeri Singa.
"Seperti keripik, lalu mie instan, itu disenangi orang-orang di Singapura. Produk-produk mie asal Indonesia banyak disukai. Ada juga Ayam Goreng Surabaya, Ayam Goreng Ojolali, tapi bikinya di Singapura" katanya.
"Seperti kaos dari Bandung. Jadi banyak barangnya dari Indonesia tapi labelnya asing. Harganya juga, misalnya 1 potong 3 SGD, dijual 20 SGD. Jadi ada yang produksi tanpa merk, nah Singapura mencari mana yang lebih menguntungkan. Memang negara kecil tapi dia menang di branding," imbuhnya.
(zul/ang)