Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan FE UI kembali merilis hasil studi dampak pemalsuan terhadap ekonomi Indonesia. Kesimpulannya konsumen di Jabodetabek dan Surabaya tetap membeli barang palsu atau abal-abal karena harganya jauh lebih murah daripada yang asli. Survei berdasarkan 500 responden di Jabodetabek dan Surabaya pada akhir tahun lalu.
Setidaknya ada 6 jenis barang yang tetap dibeli konsumen walaupun sudah diketahui barang tersebut palsu. Barang-barang itu antara lain software, kosmetika, farmasi, pakaian, barang kulit, dan makanan-minuman.
"Orang cenderung untuk rela memilih produk yang lebih murah harganya, sementara produk tersebut kenyataannya palsu/ilegal," kata Ketua MIAP Widyaretna Buenastuti dalam keterangan tertulisnya, Rabu (23/4/2014)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Software
Konsumen yang tetap membeli beralasan karena harganya jauh lebih murah daripada software asli. Sementara yang tak sudi membeli beralasan karena tidak bisa menggunakan layanan update.
2. Kosmetika
Konsumen yang tetap membeli beralasan karena harganya jauh lebih murah. Sementara yang tak mau membeli beralasan karena membahayakan dan merusak wajah/tubuh.
3. Farmasi
Konsumen yang tetap membeli obat palsu beralasan karena harga obat asli jauh lebih mahal. Pihak yang tak mau membeli beralasan karena obat palsu membahayakan kesehatan diri sendiri dan keluarga.
4. Pakaian
Konsumen yang tetap membeli beralasan karena harganya jauh lebih murah dari produk asli. Konsumen yang tak mau membeli beralasan karena barang palsu tidak terjamin kualitasnya.
5. Barang Kulit
Pihak yang tetap membeli beralasan karena harganya jauh lebih murah dari produk asli. Sedangkan yang tak sudi membeli karena alasan tidak terjamin kualitasnya.
6. Makanan & Minuman
Konsumen yang tetap membeli makanan dan minuman palsu karena harganya jauh lebih murah, yang tak mau membeli karena membahayakan kesehatan.
Catatan MIAP dan FE UI, para konsumen pengguna software palsu umumnya pelajar, konsumen kosmetika palsu umumnya pembantu rumah tangga, konsumen farmasi palsu adalah pembeli tanpa resep, konsumen ibu rumah tangga pembeli setia pakaian dan barang kulit palsu. Terakhir konsumen anak-anak merupakan pembeli makanan dan minuman palsu.
Selain persepsi konsumen konsumen terhadap barang palsu, penelitian ini juga menanyakan kepada para penjual barang palsu. Mereka mengaku menjual barang tanpa peduli barang itu palsu atau tidak.
"Berdasarkan hasil survei menunjukan bahwa responden konsumen antara penjual yang diteliti di beberapa lokasi Jabodetabek dan Surabaya tidak memprioritaskan keaslian barang yang dijualbelikan," kata Peneliti FEUI Eugenia Mardanugraha.
Padahal berdasarkan catatan MIAP, peredaran barang palsu bukan hanya merugikan konsumen, namun juga pelaku industri. MIAP pernah merilis kerugian industri mencapai triliunan rupiah.
(hen/hds)











































