Daerah ini merupakan salah satu lumbung ikan di wilayah Indonesia bagian timur. Ternyata bisnis pengolahan dan penangkapan ikan di kawasan Papua ini praktis baru dimulai sejak pertengahan 2013.
Prinus cabang Sorong pernah berhenti operasi selama periode 1999-2012 karena kesulitan keuangan dan terkenan imbas konflik sosial di Maluku. Berkat inisiasi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, Prinus kembali bangkit untuk membangun industri perikanan di Indonesia Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada keputusan Pak Dahlan untuk menjadikan kawasan timur sebagai perikanan terpadu. Pak Dahlan percaya untuk hidupkan Sorong. Karyawan berpikir, mungkinkah Cabang Sorong hidup kembali?" kata Kepala Prinus Cabang Sorong Srinona Kadarisman di Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (3/9/2014).
Sri menerangkan momen-momen saat membangkitkan Prinus kembali. Perseroan harus meminta izin suku yang ada di Sorong. Hal ini dibutuhkan karena pengaruh adat di Papua sangat kuat.
"Di sini kita berhadapan dengan adat. Suku yang kuat di sini adalah Suku Moi. Kalau mereka nggak beri izin, nggak bisa. Akhirnya kita bisa lewati," sebutnya.
Saat usaha di Sorong mulai berjalan, Prinus mengubah sistem bisnis. Dulu perseroan memberikan modal dan kelengkapan tangkap ikan kepada nelayan. Saat ini hal tersebut diubah. Pasalnya peralatan tangkap nelayan sudah relatif lengkap.
Prinus sekarang menjalin kemitraan dengan ratusan nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan yang tersebar di Sorong, Raja Ampat, hingga Fak Fak. Prinus menjamin pembelian ikan nelayan lokal untuk diolah di sentra pengolahan ikan milik perseroan di Sorong.
"Sekarang kami jadi bapak induk. Kami seperti plasma untuk sejahterakan masyarakat," jelasnya.
Saat ini, area pengolahan ikan milik Prinus di Sorong telah memiliki fasilitas pendingin (cold storage) yang bisa dengan kapasitas 200 ton. Padahal sebelum setop operasi, fasilitas ini bisa memuat dan mengolah ikan sebanyak 2.000 ton. Selain itu, Prinus memiliki pabrik es dan dok perawatan kapal nelayan.
"Kami sekarang usulkan tambah cold storage dengan produksi ikan yang banyak saat di puncak. Sekarang karena ombak jadi kapal merapat. Ikan ada musim panen dua kali dalam setahun," jelasnya.
Saat ini, Prinus cabang Sorong telah meraup laba bersih sejak mulai beroperasi pada 27 September 2013 lalu. Akhir 2013, Prinus meraih laba bersih Rp 2,9 miliar dengan pendapatan Rp 17 miliar. Ikan hasil tangkap dan pengolahan telah diekspor ke negara-negara Asia seperti Singapura dan Thailand.
"Dalam prognosa target laba selama enam bulan sudah tercapai 50%. Kami target laba Rp 6 miliar sampai akhir 2014 dan pendapatan Rp 22 miliar. Padahal dari 1999-2012 kita keuangannya minus. Itu hanya untuk hidupi karyawan," sebutnya.
Ke depan Prinus berencana menambah fasilitas cold storage di Sorong. Idealnya cold storage di Sorong bisa menampung 2.000 ton ikan karena untuk menampung ikan-ikan kecil yang biasanya dibuang saat musim panen. Padahal ikan-ikan tersebut bisa dimanfaatkan saat musim paceklik tiba.
Selain itu, Prinus juga akan menerapkan sistem nano teknologi untuk penangkapan ikan. Dengan teknologi ini, penangkan ikan lebih efisien karena lokasi ikan sudah bisa diketahui.
"Kami menuju ke nano teknologi, bisa deteksi gerombolan ikan. Jadi lebih efisien dan nggak buang-buang BBM," tuturnya.
(feb/hds)