Salah satu perwakilan karyawan adalah Capt. Aswin Nasution. Pilot senior Merpati bercerita tentang kondisi penerbang di maskapai pelat merah ini.
Dari 200-an pilot sebelum masa krisis atau setop operasi, saat ini pilot Merpati yang tersisa hanya 85 orang. Pilot masih bertahan menuntut kejelasan nasib meski belum dibayar selama 9 bulan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mayoritas penerbang yang tersisa adalah penerbang senior. Aswin juga bercerita tentang perjuangan para penerbang Merpati masuk ke daerah-daerah sulit, seperti ke pedalaman Papua. Meski kondisi bandara tidak layak didarati, pesawat Merpati tetap harus terbang untuk mengangkut pasien, makanan, hingga prajurit.
"Di pedalaman Irian (Papua) itu secara prosedural ada bandara yang nggak bisa didarati pesawat. Hanya pilot Merpati yang berani masuk. Kita bawa tentara, bawa beras jatah. Kami juga ikut turunkan barang," jelasnya.
Tidak berhenti di situ, armada Merpati juga pernah menjadi sasaran tembak oleh kelompok bersenjata di pedalaman Papua. Namun tugas Merpati tidak berhenti melayani penerbangan perintis.
Melihat kondisi perusahaan saat ini, ia mengaku sangat sedih. Merpati berhenti operasi, sehingga tidak bisa melayani masyarakat ke pedalaman dan daerah terpencil.
"Siapa nanti penghubung daerah isolasi. Sebagai penghubung di daerah pedalaman. Nggak ada yang mau kecuali harga tinggi," jelasnya.
Di tempat yang sama perwakilan petugas operasi Merpati (Flight Operation Officer/FOO) Supriyadi Jufri menjelaskan, kondisi perseroan saat masih beroperasi. Merpati tetap melayani penumpang, meskipun daerah tersebut dilanda konflik. Merpati melakukan penerbangan rutin disaat maskapai lain memutuskan tidak terbang.
"Bapak lihat penerbangan ke Papua. Banyak pilot Merpati dan engineer Merpati itu gugur dan tubuhnya acak-acakan. Kerusahan di Timor Leste, kita tetap terbang. Palangkaraya, Ambon saat kerusahaan, kita tetap terbang," kata Supriyadi.
(feb/dnl)











































