Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, menungkapkan saat masih menjajah Indonesia, Belanda membangun 179 Pabrik Gula (PG), terbanyak tersebar di Pulau Jawa. Namun satu per satu, sebagian besar PG yang dikelola BUMN tersebut gulung tikar.
"Satu-satu ditutup, sebabnya macam-macam. Dulu dari warisan Belanda kita punya 179 PG, kebanyakan di Jawa. Sekarang hanya sisa 50 saja kan yang masih bisa giling tebu," jelasnya kepada detikFinance, Senin (23/5/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena rendemen rendah akhirnya biaya nggak tutup ongkos produksi. Mesin putarannya lama, biaya bahan bakar mahal, perawatan mahal. PG ini sama kaya mobil, kalau sudah tua harus diganti. PG punya Thailand sekarang modern semua, sudah pakai dinamo elektrik. Atau nggak usah jauh-jauh, lihat PG punya swasta," ujar dia.
Sumitro melanjutkan, akibat rendahnya rendemen itu pula, akhirnya berbuntut pada rendahnya bagi hasil dengan petani tebu. Hal ini yang akhirnya membuat petani malas menanam tebu. Di sisi lain, PG milik BUMN rata-rata tak memiliki lahan perkebunan tebu milik sendiri sehingga sangat tergantung pada pasokan tebu petani.
"Karena tak ada tebunya, atau tebunya kurang, akhirnya tak bisa mencapai produksi yang efisien. Sudah begitu rendemen rendah. Lihat saja sudah berapa banyak PG yang ditutup. Di Sumatra Utara malah ada PG yang rendemen hanya 5%. Punya swasta kita hampir semua di atas 10%," pungkasnya. (feb/feb)