Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Sumitro Samadikun, mengatakan pilihan bertanam tebu di Indonesia ibarat pertaruhan. Dari 3 kali panen selama 3 tahun, tebu panen sekali setahun, tak jarang petani yang mengalami kerugian.
"Tanam tebu sudah tahu rugi tapi masih diteruskan? Karena dia berharap untung di panen kedua atau ketiga. Jadi sudah kepalang tanggung kalau sudah tanam, kalau ditebang juga keluar biaya, akhirnya berharap panen tahun depannya," jelasnya kepada detikFinance, Senin (23/5/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siklus dan karakter petani tebu ini, kata dia, yang seharusnya jadi perhatian pemerintah agar lahan tebu tak semakin menyusut. Berbeda dengan PG swasta yang umumnya memiliki lahan tebu sendiri, PG milik BUMN sangat bergantung pada gairah petani menanam tebu.
"Itu kenapa banyak PG yang akhirnya tutup. Karena pasokan tebunya tidak ada. Sudah berapa PG yang tutup, banyak sekali. Jaga agar petani bisa untung, caranya dengan tingkatkan rendemen. Beri penghargaan pada PG yang bisa tingkatkan rendemen, bukan dengan impor raw sugar (gula mentah) yang bisa pengaruhi pasar," ungkap Sumitro.
Dengan tingkat rendemen yang tinggi, menurutnya, petani akan dapat kepastian dalam 3 kali masa tanam.
"Rendemen rendah buat petani untung sedikit, malah sering rugi dari 3 kali tanam," katanya.
Sumitro melanjutkan, petani yang memilih menanam tebu karena ingin 'mengistirahatkan' lahannya.
"Perawatan (tebu) kan lebih mudah. Daripada lahan tidak dipakai atau tidak disewakan," pungkas Sumitro. (drk/drk)