Agar bisa bersaing, Sekjen Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, Dadang Heru Kodri mengatakan, harga gas di Indonesia harusnya bisa ditekan minimal sama dengan di Malaysia.
"Industri pupuk perlu mendapatkan harga US$ 2- US$ 4 per MMbtu sesuai dengan mayoritas harga gas di dunia untuk industri pupuk," ujar di Kemenperin, Jl Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (22/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dadang mengatakan kontribusi harga gas terhadap biaya produksi urea nasional sebanyak 72%. Dengan harga gas untuk industri pupuk di Indonesia saat ini sekitar US$ 6,25 per MMBtu, biaya produksinya berada di kisaran US$ 250 per ton. Apabila harga gas turun, maka bisa menekan biaya produksi hingga US$ 45 per ton.
"Saat ini biaya produksi telah di kisaran US$ 250 per ton, apabila harga di bawah US$ 4 per MMBtu akan menurunkan biaya produksi urea sebesar US$ 45 per ton atau menjadi US$ 205 per ton," kata Dadang.
Hal tersebut, sambung dia, menunjukkan betapa pentingnya pengendalian harga gas ini bagi industri pupuk.
Biaya produksi yang mahal, juga membuat harga jualnya mahal, masuknya urea impor bahkan bisa membuat ketergantungan dengan negara lain. Hal ini justru membahayakan dan mengganggu kedaulatan pangan karena jadwal pasokannya tidak pasti, dapat dijadikan alat politik negara eksportir pupuk (embargo), harga dapat dipermainkan, kualitas pupuknya tidak terjamin.
Ia mengatakan saat ini industri mengeluh soal harga gas dan pasokan gas jangka panjang. Sebagian kontrak gas akan habis dalam kurun waktu 2016-2018 untuk industri pupuk sehingga perlu ada perpanjangan untuk menjamin keberlangsungan industri pupuk nasional. (dna/dna)











































