Menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Dwi Soetjipto, menurunkan harga gas saat ini bukan perkara mudah. Banyak kendala yang dihadapi. Terutama dalam hal produksi gas sendiri yang membuat harga gas sudah mahal sejak di hulu.
Masalah pertama terkait lokasi geografis cadangan gas itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, ongkos produksi menjadi mahal.
"Naturally blok-blok cadangan gas di Indonesia kecil-kecil sehingga per satuan volume ongkosnya relatif lebih tinggi," kata Dwi.
Dwi membandingkan dengan negara lain seperti Iran yang satu blok cadangan gas yang tersedia cukup besar. Membuat kegiatan pencarian, pengeboran hingga produksi gas lebih murah.
Berbeda dengan Indonesia yang cadanganya lebih sedikit. Setiap kali cadangan gas habis maka perlu dilakukan pencarian cadangan baru yang yang menimbulkan biaya-biaya.
"Berbeda dengan cadangan gas di negara-negara lain kayak misalnya di Iran segala macem memiliki satu blok cadangan yang sangat besar sehingga ongkos produksi di blok tersebut tentu berbeda-beda," beber dia.
Kedua, sambung Dwi, adalah masalah peralatan dan teknologi. Akibat lokasi yang sulit tadi, maka mengebor gas di Indonesia memerlukan perlakuak khusus, teknologi yang lebih tinggi yang secara biaya tentu lebih mahal.
"Kalau teknologi sangat tinggi dan complicated tentu saja capex-nya (belanja modalnya) besar," tegas dia.
Ketiga adalah masalah tingkat pengembalian modal. Lokasi yang sulit dengan ketersediaan cadangan gas yang tergolong sedikit di masing-masing lokasi membuat kegiatan pencarian dan pengeboran gas menimbulkan risiko yang tinggi. Secara investasi, risiko ini membuat daya tarik investasi menjadi menurun.
"IRR (Internal rate of retur/tingkat pengembalian modal) berapa yang dipegang? Investor-investor luar negeri mungkin untuk IRR dalam kalkulasi-nya memasukkan berbagai risk-risk yang menurut mereka apakah country risk atau semacamnya itu yang perlu dikonfirmasi," tandas dia.
(dna/dna)