"Sekarang kita minta US$ 3/ MMBtu, dari harga gas ini kan kita hanya bagian dari pengguna. Kita serahkan ke pemerintah, goalnya di pemerintah bagaimana bisa sacrifice tapi ada hasil karena economy multiplier effect," ujar Sukandar, di kantornya, Jakarta Selatan, Senin (31/10/2016).
Jika harga gas turun, ia menyebut 2 pabrik hulu Krakatau Steel yang memproduksi slab dan billets di Cilegon dapat dihidupkan kembali. Hal itu karena gas sangat berpengaruh bagi biaya produksi dan energi sehingga menyebabkan 2 pabrik itu dimatikan sementara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sukandar, jika harga gas diturunkan dapat menghemat devisa antara US$ 1 miliar-US$ 1,5 miliar per tahun dengan memproduksi slab dan billet dalam pabrik KS. Bahkan KS mengimpor 50% bahan setengah jadi yang kemudian diolah di dalam negeri untuk mengurangi beban produksi.
"Impor 50 persen, dari Krakatau Posco 50 persen itu yang kita giling jadi finished product jadi HRC sama CRC, jadi cuma semi finished, kalau harga gas menurun atau murah, itu kita buat dari hulu sampai ke hilir," kata Sukandar.
Namun, jika harga gas tidak turun signifikan ia mengaku akan tetap mengoperasikan kemampuan pabriknya tetapi terbatas. Krakatau Steel sedang berupaya mengurangi beban harga produksi dengan membuat pabrik Blast Furnace Complex yang targetnya selesai akhir 2016 ini.
"Dengan asumsi gas tidak turun signifikan, kami tetap akan operasikan. Namun terbatas, kami akan mix dengan liquid steel dari blast furnice bisa sehingga kami bisa produksi harapannya 2 juta ton 1 tahun. Kalau harganya turun jauh seperti US$ 3/MMBtu kita bisa operaskan penuh. Kalau gitu kita bisa bayar US$ 80/ton HRC di gas itu sangat efisien dan harga kompetitif," imbuhnya.
Jika pabrik Blast Furnace itu beroperasi biaya produksi baja lembaran panas diharapkan dapat turun hingga US$ 58,2/ton. Pabrik tersebut dapat mengefisienkan energi karena menggunakan batu bara, tidak lagi menggunakan gas. (hns/hns)